Yang kuketahui cerita ini sudah diceritakan turun-temurun diantara kami. Saat negeri ini belum memiliki sebuah nama. Saat matahari tak pernah mau bersinar telalu terik menerpa wajah kalian. Sejak rembulan tak pernah terlalu malu untuk menampakan diri, mengalah pada gelap malam. Yaahhh.. rembulan. Bukan rembulan yang seperti kalian lihat seperti sekarang ini. Mungkin kau anggap aku berbohong, tapi itu hak kalian, karena yang kuketahui bulan yang dahulu sungguh berbeda dari yang sekarang. Di akhir cerita kau akan mengetahui maksudku. . .
Ada baiknya aku mulai bercerita dari awal tentang kisah yang kuterima turun-temurun ini supaya kau tidak terlalu bosan menungguku apa maksudku. Alkisah seorang pemuda yang entah tak pernah mereka ketahui namanya. Yang entah dari mana ia berasal. Yang entah untuk apa ia datang di negeri ini. Tak pernah ada yang mempertanyakan tentang dia. Tak pernah ada yang mempersoalkan kehadirannya. Karena negeri ini dahulu selalu terbuka untuk seorang pendatang, seorang pengelana, seorang pengembara dari seluruh penjuru mata angin dunia.
. . .Ia datang tak pernah diminta
Ia ada bukan karena terpaksa
Ia terlihat hanya karena mata
Mungkin ia pemgembara
Mungkin ia durjana
Mungkin ia arjuna
Yang kutahu ia seorang pemuda
Seorang pengembara . . ..
Yang mereka tahu ia seorang pengembara muda yang tinggal di penginapan tua di ujung jalan ini dahulu. Yang mereka Yang mereka tahu ia selalu membawa sebuah pena, berlembar lembar kertas yang ia satukan dengan tali yang kemudian pada masa ini kalian katakan sebagai sebuah buku. Yang mereka tahu ia terlihat di beberapa tempat di negeri ini. Suatu pagi ia terlihat di tepi sungai diperbukitan tak jauh dari sini. Di terpa angin pagi di iringi gemercik mata air yang mengalir lewat celah di bebatuan sunyi sungai. Mungkin kalian bertanya apa yang dilakukannya disana. Kujawab tak ada, hanya mencelupkan sebatas mata kaki menulis di bukunya. Entah apa . . . kujawab nanti di akhir cerita ini. Suatu hari ia terlihat di atara rintik hujan di sore hari ia hanya berdiri di bawah pepohonan memandang jauh kedepan. Entah apa yang ia pandangi. Masa lalu yang enggan berlalu atau masa depan yang tak kunjung datang. Suatu hari ia nampak di tengah malam duduk diperbukitan memandang pada rembulan yang tersembul dibalik awan. Seperti kukatakan kepadamu diawal kisah ini, rembulan saat itu begitu berbeda dengan sekarang yang kau lihat indah. Namun tak pernah penting bagi kaumku masa itu karena bagi mereka rembulan memang selayaknya begitu.
Kukatakan kepadamu mengapa rembulan begitu berbeda masa itu, mengapa pengembara tak pernah lalu dari negeri ini. Pengembara itu rela menghabiskan waktu untuk duduk memandangi bulan dari waktu ke waktu, mengapa kisah ini jadi begitu penting untuk kuceritakan padamu. Masa itu rembulan belum memiliki nama. Orang hanya tahu sebuah sinar yang menerpa mereka. Saat gelap mulai datang. Sangat angin mulai berhembusdari pegunungan. Saat jangkrik mulai bersenandung dikejauhan. Saat kita terlelap dalam malam. Sebuah lingkaran penuh tanpa nama menggantung di sudut langit, selalu bulat penuh. Yaaaa . . . bulat penuh. Tak pernah mereka melihat ia hanya berpentuk separuh, seperti biskuit bulat yang terbagi adil dua. Tak pernah hanya secuil yang sekarang mereka katakan sebagai bulan sabit kecil.
Yang kuketahui bulan belum bersinar temaram. Yang kata orang sekarang penuh kelembutan. Memberi kehangatan bagi pasangan yang sedang kasmaran. Terang kuning kemilauan seperti nyala lampu diperkotaan sekarang. Yang menyalakan gairah pada kehidupan malam. Tidak pula bening membias semu pada malam. Yang kuketahui bulan saat itu kuning lesih. Pucat. Begitu dingin. Cammay. Begitu para filsuf dari negeri seberang menamakannya. Tak ada gairah tak ada keangkuhan, tak ada kelembutan. Datar tapi tak hambar. Bukan sebuah senyuman atau gerutuan.
. . . Yang kuketahui tentang bulan
mungkin tak pernah sama dengan kalian
Sebuah sinar yang menerpaku di kejauhan
Melekatkan retinaku dalam dalam
Menggetarkan nafasku dalam malam
Bukan sebuah sepi atau kesedihan
Bukan sebuah mimpi atau kejemuan
Bukan analogi dari sebuah kehidupan
Yang kuketahui tentang rembulan
seperti menyimpan kerinduan . . .
Lalu apa yang membuat cerita ini begitu menarik bagimu? Kukatakan padamu apa yang diketahui sejak jaman nenek moyang kaumku. Pengembara itu jatuh cinta pada bulan. Mungkin kau kira aku menipumu dengan kisahku. Menyamakan kisahku dengan legenda yang pernah kau dengar dari ibumu, seperti legenda si pungguk merindukan bulan. Kukatakan sekali lagi kisah ini berbeda dengan legenda masa kecilmu. Dan sungguh ia itu jatuh cinta pada bulan itu.
Jatuh cinta?! Yaaa... jatuh cinta. Jatuh cinta selayaknya seorang pemuda menaruh hati pada wanita yang ia suka. Seperti ketika seseorang yang dilanda kegundahan saat ia merindukan sang pujaan hati. Bagai nyala api yang begitu berkobar ketika seseorang berjumpa dengan tambatan hati. Atau lukisan kelembutan yang nampak dalam wajah seseorang yang dimabuk asmara. Tak pernah tahu rasa itu datang dan pergi seiring waktu. Hanya mampu melaju diantara rinai hari.
Oleh karena itu kubacakan padamu agar percaya. Sebuah penggalan kata-kata yang ia gorekan pada kertas yang ia tujukan pada bulan pada masa itu . . .
. . .Kulangkahkan diantara rinai hari
Ketika yang kupandangii sebuah keindahan penuh arti
Hambar, dingin, pucat seperti kata mereka
Bagiku engkau pengiring sepiku
Tempat kuletakkan rinduku
Sebuah mimpi tak bertepiku
Hingga suatu hari kita mungin jadi satu dalam hari
Jika kata yang kurangkai ini tak pernah bermakna lagi
Berganti jadi warna yang mereka sukai . . .
Dan karenanya mereka selalu melihat pengembara itu di beberapa tempat di negeri ini. Dan lebih sering pada malam hari, saat bulan itu menampakkan diri. Hingga suatu hari penggembara itu hilang dari negeri ini atau mungkin dari dunia ini. Kembali tak pernah ada yang tahu kemana kepergiannya. Kedatangannya tak pernah dinanti, kepergiannya bahkan seperti angin lalu. Terjadi antara mimpi dan realitas hari. Tak perlu dipertanyakan atau diakui kenyataannya lagi.
Ada yang berkata bahwa ia sudah bosan pada bulan yang ia pandang. Terlalu jemu terlalu enggan untuk bertahan. Karena mereka seorang penggembara dan rembulan. Terlalu beda untuk disatukan. Ada yang menyangka karena bulan berubah warna menjadi seperti yang kau lihat sekarang. Bersinar temaram penuh kelembutan. Terang kuning kemilauan. Atau bening membias semu pada malam. Ada yang berkata sang pengembara telah jatuh hati pada gadis biasa selayaknya manusia pada umumnya. Kegilaannya itu telah terakhiri. Namun satu yang kupercaya satu cerita diantara rombongan orang-orang yang berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Bahwa mereka tetap satu dalam perjalanan waktu. Karena itu kau akan selalu melihat dalam gelap malam setiap pengembara akan selalu ditemani oleh sang rembulan yang menggantung di pinggir malam di manapun mereka melangkahkan kaki. Seperti ketika seorang penggembara jatuh hati pada bulan di negeri ini.
Oleh karena itu kuceritakan padamu tentang rembulan pada suatu masa. Yang berwarna kuning lesih menggantung di gelap malam, bukan temaram atau kemilauan. Pucat. Dingin. Tak hambar, hanya seperti menyimpan kerinduan. Cammay seperti para filsuf dari negeri seberang menyebutnya. Kuceritakan padamu agar kau ingat pada kisah pemuda yang jatuh hati pada rembulan. Kuceritakan padamu agar kau menyeritakannya turun temurun pada anak cucumu bahwa bulan pernah begitu indah dipandang mata walau ia tak bernama. Walau ia belum terlalu bermakna dalam kesederhaaan mata. Seperti ku katakan padamu mungkin kau akan jatuh cinta pada bulan itu . . .
—Untuk rembulan, selamat malam . . . —
Tangerang, 23 Okt ‘04
No comments:
Post a Comment