dalam rangka munculnya film Eat Pray Love besok, rasanya ini saat yang tepat bagi gue untuk berbagi mengenai ulasan tentang film ini.
mungkin ini adalah salah satu film yang paling ditunggu-tunggu di tahun ini. selain karena kisah nyata yang diangkat dari buku yang berjudul sama, film layar lebar kedua yang disutradari oleh Ryan Murphy, film ini juga menandai kembalinya Julia Roberts berakting sebagai pemeran utama semenjak
Erin Brokovich (2000).
Elizabeth Gilbert adalah seorang wanita mapan yang tampak memiliki hidup yang sempurna; pekerjaan tetap, keuangan stabil, rumah yang bagus, dan suami yang mencintai dia. namun ia merasa ada yang hilang pada dirinya dan ingin mencari apa yang benar-benar ia mau dalam hidupnya. setelah perceraian yang sulit, yang mengakibatkan ia kehilangan sebagian besar uang dan rumahnya, ia berani keluar dari zona nyaman dan pergi berpetualang selama satu tahun. film ini tentang bagaimana ia memuaskan rasa laparnya pada hubungan kekeluargaan dan pertemanan di Italia, mendapatkan kedamaian hati dengan berdoa di India, dan menemukan kembali arti cinta di Indonesia.
sesuai kebiasaan, gue selalu menahan diri untuk engga membaca bukunya terlebih dahulu sebelum menonton filmnya. ya karena menurut gue, dengan membaca bukunya setelah menonton filmnya membuat gue menemukan berbagai hal yang engga gue temui di filmnya. oke, balik ke filmnya, secara garis besar buat elo yang doyan dengan film-film berbau romansa dan/atau traveling dan/atau makna hidup, film ini akan memenuhi ekspektasi elo dengan baik.
|
gambar diambil dari sini |
menurut gue, tema besar yang diangkat dalam cerita ini adalah pencarian makna hidup; merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri dan berani untuk mengambil tindakan - termasuk meninggalkan zona nyaman - yang penuh resiko, mengalami hambatan dan perasaan ingin menyerah, namun mendapat kekuatan lagi dan menemukan diri seutuhnya. dari tema besar ini, film ini dengan baik menyelipkan sisi keindahan setiap lokasi, perbedaan budaya yang menarik, dan tentunya kisah roman yang dialami oleh Elizabeth Gilbert. tidak terkesan asal tempel saja, semua berjalan dengan natural dan enak untuk diikuti selama 2 jam 10 menit.
salah satu yang gue suka dari film ini adalah penggunaan tone warna yang kalem dalam setiap adegan. bahkan lokasi di Bali yang (sepengalaman gue) cukup terik menyengat, bisa dibuat seakan adem dan sejuk. para pembuat film juga konsisten dalam penggunaan bokeh di setiap sumber cahaya yang ada dalam setiap adegan, demi menjaga kesan film yang sejuk.
berhubung gue juga termasuk orang yang penikmat musik, film ini mampu membuat gue langsung mencari album OST-nya. setiap lagu yang digunakan, baik instrumen maupun vokal, tampil sangat pas dan cenderung memberi kekuatan tersendiri setiap adegan yang ada. mulai dari yang sedih, romantis, sampai yang rada cheesy-tapi-kocak sekalipun.
|
gambar diambil dari sini |
seperti layaknya film-film traveling pada umumnya, karakter-karakter yang ditemui di perjalanan justru menjadi attention stealer dari karakter utamanya. dan entah kenapa gue suka dengan setiap pemeran pendukung disini yang menghidupkan karakter-karakter tersebut. Luca Argentero sebagai Giovani yang mengajarkan bahasa Italia kepada Liz, Richard Jenkins sebagai Richard yang merupakan teman "senasib dan seperjuangan" Liz, dan tentunya Hadi Subiyanto sebagai Ketut Liyer sebagai "guru spiritual" Liz. dua jempol untuk Hadi Subiyanto yang mampu beradu akting dengan Julia Roberts dengan baik di film perdananya. setiap ekspresi wajahnya yang komikal (ditambah giginya yang ompong), dan setiap quotes yang menarik tampaknya akan selalu diingat dengan baik oleh setiap penonton. oya, ada adegan bersejarah yang terjadi dalam film ini ketika dua aktris besar Indonesia dan Amerika beradu akting dalam dua adegan; Christine Hakim dan Julia Roberts. walaupun porsinya tidak banyak, tapi Christine Hakim mampu membuat penonton Indonesia tiba-tiba merasa sejenak bahwa ini bukan film produksi Hollywood.
|
gambar diambil dari sini |
rasanya engga adil kalau gue membahas para pemeran pendukung tanpa membahas pemeran-pemeran para pria yang hadir dalam hidup Elizabeth Gilbert. Billy Crudup tampil natural dalam memerankan suami yang patah hati setelah diceraikan oleh istrinya. gue masih teringat satu adegan yang cukup memorable, ketika Stephen sekuat tena menahan tangis di elevator. James Franco tampil baik sebagai pria yang kebetulan lewat di kehidupan Liz pasca-perceraiannya, dan harus mengalami patah hati pula. tapi entah kenapa ketika adegan dia nangis, gue jadi ingat sama peran dia sebagai Harry Osborn di trilogi Spiderman yang menangisi kematian ayahnya. nah Javier Bardem ini yang walaupun muncul di penghujung film namun seakan klimaks dari perjalanan Liz. memerankan seorang pria asal Portugis yang tidak terlalu mahir berbahasa Inggris, entah kenapa membuat gue senyum-senyum sendiri dengan tingkah lakunya yang komikal. engga kebayang sama sekali bahwa dia pernah memerankan salah satu best-villain-on-my-version di No Country for Old Men (2007).
|
gambar diambil dari sini |
namun sayang, film ini kurang menggambarkan dengan baik kegelisahan seorang Elizabeth Gilbert yang merasa stuck dalam hidupnya, khususnya di awal-awal film yang menurut gue sebagai titik tolak dari perjalanan satu tahun dari Liz. entah apa karena gue yang engga terlalu ngerti berhubung engga ada subtitlenya atau kenapa, tapi rasanya penggambaran kegelisahan tersebut kurang kuat untuk mendasari perceraian Liz dan keluarnya ia dari zona nyamannya.
buat elo yang sudah baca bukunya, rasanya sangat sayang untuk melewatkan film yang satu ini. buat elo yang belum baca bukunya, film ini akan menghadirkan banyak quotes yang menarik, yang rasanya salah satu atau salah dua bisa dijadikan pengingat dalam perjalanan hidup kita.
rating?
silahkan mampir ke sobekan tiket bioskop ;p
No comments:
Post a Comment