Oct 31, 2010

Untitled

Aku benci ibuku!"

Kata-kata itu terngiang di benakku sepanjang perjalanan ini. Mataku terpana pada pemandangan yang seolah terus berlari dan berlalu dari jendela tempat dudukku di kereta. Ya, sama seperti aku. Aku seolah sedang berlari dari masa lalu.

Aku menghela nafas dan menyenderkan sisi kepalaku pada kaca jendela. Aku merasa sedikit mual dan lelah dengan keadaan ini. Dengan mata yang refleks menutup kelopaknya, aku mulai melukis ulang semua hal-hal yang memaksaku melewati hari ini.

Aku bukan anak yang sempurna, tetapi dituntut untuk sempurna menurut versi ibuku. Betul, ibuku seringkali berkata bahwa tidak apa kurang di beberapa hal. Tetapi, "kurang" menurut versi ibuku. Kekurangan lain yang tidak ibuku miliki tidak boleh terjadi pada diriku, karena itu membuatku tidak sempurna menurut versi ibuku. Dengan kata lain, ibuku menganggap dirinya yang paling benar (benar tentang kebenaran dan benar tentang kekurangan). Dan karena ibuku menganggap dirinya paling benar, aku terkadang merasa ia menjadi takut dengan kata "salah". Aku menangkap beberapa momen di mana aku menunjukkan bahwa ia salah dan ia marah kepadaku dengan menunjukkan kepadaku bahwa itu adalah salahku atau menunjukkan bahwa ia tidak sengaja sehingga itu bukan salahnya. Ia ingin dirinya bersih dari kesalahan.

Bersih. Ya, bersih itu juga menular ke tingkah lakunya. Ia mengharuskan aku seperti dirinya, bersih. Ia selalu mengganti baju atau mandi setelah duduk di ruang keluarga karena ayah sering duduk di sana dengan menggunakan pakaian kantor. Pakaian yang ayah gunakan untuk duduk entah di tempat orang lain yang mungkin berpenyakit, begitu kata ibuku. Ibuku juga selalu mencuci piring dua kali dengan urutan yang sama; dimulai dari piring yang besar, piring kecil, mangkuk, gelas atau cangkir, dan sendok-garpu. Tidak lupa ia membilas keran dengan air setelah proses mencuci selesai. Kebiasaan yang lainnya yang sering dilakukannya adalah membersihkan apapun sebelum disentuhnya, seperti gagang pintu, telepon, dan lain-lain. Dan hal ini tentu juga berlaku padaku. Ibu mengharuskan aku untuk bisa berlaku sepertinya. Baginya, menjaga kebersihan menjadi hal mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Berbeda dengan ibuku, aku merasa terganggu. Bukannya aku tidak menyukai kebersihan. Tetapi, aku merasa ada yang salah. Sejak awal, bagaimanapun ibu menanamkan versi sempurna dirinya dalam diriku, aku tetap diriku. Aku tidak bisa menjadi ibuku. Dan inilah mengapa aku berlari darinya saat ini. Berlari agar aku bisa memulai keadaan yang aku anggap normal. Aku sudah muak dengan keadaan yang ada.

Angin bertiup dari jendela yang dibuka perlahan secara tiba-tiba. Aku membuka mata dan tampak suamiku tersenyum.

"Sayang, aku mau ke WC dulu ya," ia berkata padaku sambil mendudukkan buah hati kami yang baru berumur 3 tahun di pangkuanku dan berlalu. Aku tersenyum dan memperhatikan peri kecilku dengan tangan kecilnya yang samar-samar berlumur cokelat. Aku tersenyum padanya sambil mengambil Mitu* dari tasku dan membersihkan tangannya. Kemudian aku mengambil Antis** dari tasku juga dan menuangkan beberapa tetes di tangannya dan membantunya mengoleskan di seluruh permukaan tangannya. Dan terakhir, aku menuangkan beberapa tetes di tanganku sambil merasakan sesak di dada.

"Aku benci ibuku!"

Kata-kata itu kembali terngiang di benakku. Mataku kembali tertuju pada pemandangan yang masih terus berlari dan berlalu dari jendela tempat dudukku di kereta. Ya, sama seperti aku. Aku hanya seolah sedang berlari dari masa lalu.


-----------------------------------

*Merk tissue basah.
**Merk cairan pembersih tangan



-Jessica Farolan-

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...