Sep 28, 2010
Doa dan Teka-Teki
Di dalam kekalutan dan kecemasanku ini
aku bahkan tidak mampu berdoa.
Sebab aku tidak pernah mengenalmu seumur hidupku.
Amin."
Sep 21, 2010
Selamat Datang di Tentena (Bagian II)
Aku tidak terlalu menyadari rumah siapa yang kami kunjungi. Tapi satu hal yang kuingat betul adalah seorang ibu yang menangis meraung-raung sambil memohon-mohon pada Ian untuk membantu mencari anaknya. Aku ingat betul perkataannya dalam bahasa daerah, “Kami sudah susah-susah mengungsi dari Poso ke sini supaya lebih aman, ternyata di sini kami akan mati juga”. Lalu ibu itu pergi sendiri mencari anaknya. Pada hari itu, di Tentena, semua telah hilang. Bukan saja nyawa, tapi juga kebahagiaan, ketenangan, harapan dan kehidupan. Aku hanya berdiri termenung melihat semua kejadian itu, tidak bisa berbicara apa-apa. Semua kebahagiaan dan rasa senang pada diriku pun juga telah hilang. Untuk beberapa saat, aku menjadi manusia yang sangat kosong.
[2]
Kenangan itu berhenti saat udara semakin dingin. Aku mencabut sprei dari ranjangku dan menjadikannya selimut. Sesaat aku sudah tertidur lagi lalu bangun paling terakhir dari semua teman-temanku. Tentu saja aku terbangun diiringi berbagai ejekan karena mabuk, mengambil ranjang orang dan bangun paling terakhir. Hari ini jadwal FGD kami sudah tidak bisa terlaksana karena seluruh sekolah di Tentena sedang libur. Kami memutuskan hari ini akan menjadi hari wisata kami. Aku senang dan antusias sekali, mengingat selama berkali-kali datang ke Poso atau Tentena, kami tidak pernah punya waktu untuk berjalan-jalan dan melihat objek wisata yang ada di tempat tersebut. Air terjun – atau air luncur dalam bahasa setempat -- menjadi salah satu tempat sasaran kami. Sekitar pukul dua siang, kami pun meluncur ke air terjun tersebut dengan ditemani Budi, salah satu teman dari Crisis Centre. Teman ini sangat lucu dan mengasyikkan, selalu membuat kami tertawa. Perjalanan dengan dia pun terasa sangat menyenangkan. Air terjun tersebut bernama Saluopa, tidak terlalu jauh dari desa Tonusu. Dulu, sebelum kerusuhan, banyak rombongan dari Poso yang naik ke Tentena hanya untuk berwisata ke air terjun ini. Kini, empat tahun setelah kerusuhan terakhir, air terjun Saluopa tetap saja sepi. Jalur air terjun ini juga merupakan jalur yang sering dilalui oleh para pencinta alam untuk naik gunung. Pintu masuk ke areal air terjun dijaga oleh seorang pria tinggi besar dan bertato. Kupikir dengan ‘bentuk’ yang seperti itu, tidak akan mungkin ada seseorang yang lolos dari kewajiban membayar tiket masuk.
Setelah membayar beberapa ribu, kami melewati jembatan kecil dan sesaat kemudian kami sudah berjalan di antara pepohonan hutan. Indah sekali. Berbagai suara binantang serta keharuman hutan membuatku semakin antusias untuk bereksplorasi. Suara air terjun sudah terdengar sejak pertama kali kami memasuki hutan. Menurut penuturan kawan kami, air terjun ini bertingkat-tingkat, tidak seperti air terjun yang pernah kusinggahi dalam perjalanan menuju gunung Gede. Setelah melewati jalan menanjak, tangga dan bebatuan yang tidak terlalu menyusahkan, kami pun sampai ke air terjun pada tingkat pertama. Cantik sekali. Airnya sangat jernih, dengan batu-batu besar di dalamnya. Saat menginjak batu tersebut, airnya terasa sangat dingin, namun anehnya… batu itu tidak licin. Dengan mudahnya aku melompat dari satu batu ke batu lainnya, bermain-main dengan air sambil bergaya untuk difoto. Setelah puas dengan tingkat pertama, kami menanjak lagi menuju air terjun di tingkat berikutnya dalam kondisi basah kuyup. Pada tingkat ini sudah tidak ada jalan lagi untuk menuju pada bagian air terjun paling atas. Tapi kondisi di sini lebih cantik lagi. Aku bisa melihat bebatuan yang ada di dalam air. Jika melihat lebih jauh lagi, warna air bukan kehijauan, tapi biru. Mungkin karena kedalaman yang berbeda. Di atas sini aku melihat pelangi pendek, dalam kondisi kedinginan karena angin yang bertiup pun sangat kencang. Percikan air mengenai wajahku, membuat mataku sakit. Cukup lama kami berada di atas sana, bermain air, berjalan ke sana kemari, berfoto sambil merasa kedinginan. Aku menikmati setiap menit di atas sana, dalam rasa yang sangat menyenangkan. Perasaan yang membuat kita merasa sangat bersyukur dengan kehidupan. Setelah merasa cukup puas, kami pun kembali ke bawah. Dalam perjalanan ke bawah, karena licin dan tangga-tangga yang terjal, ada beberapa teman yang terpeleset dan jatuh. Posisi jatuh mereka agak mengkhawatirkan, tapi untungnya tidak ada hal serius yang terjadi.
Petualangan itu cukup mengobati kerinduanku untuk naik gunung dan memasuki hutan. Aku senang sekali. Perjalanan kali ini cukup mengurangi rasa khawatir kami terhadap keadaan di sini berkaitan dengan eksekusi Tibo. Dalam perjalanan pulang, aku kembali teringat akan kenangan yang muncul pada subuh tadi. Rasanya aneh juga, satu tempat yang sama bisa memberikan kenangan yang begitu buruk sekaligus begitu menyenangkan. Meski sekarang kami sudah bisa tertawa lagi, tapi setiap kali kami melewati pasar atau SMP Kristen 2, rasanya ingin cepat-cepat melaju. Kenangan akan bom Tentena selalu menghantui kami. Aku hampir yakin, masyarakat di sini juga merasa demikian. Mungkin setiap pagi akan dibuka dengan pertanyaan: peristiwa mengerikan apa lagi yang akan terjadi di hari ini? Siapa yang akan mati? Lalu berharap orang-orang yang mereka cintai tidak mati hari ini. Mungkin besok, lusa, tahun depan, dua tahun lagi, yang pasti jangan hari ini. Anak-anak mungkin terus hidup dalam kesedihan dan rasa takut. Belajar hanyalah rutinitas yang harus dilalui, bermain hanyalah kegiatan untuk mengisi waktu luang, memancing hanyalah untuk mencari uang. Kehidupan anak-anak sudah kehilangan ‘jiwa kekanak-kanakan’-nya. Kehidupan di sini tidak akan pernah kembali seperti semula. Pada tempat yang begitu indah dan menyenangkan ini, kehidupan manusia dibuat carut marut. Seperti sebuah wanita berparas cantik yang menyimpan banyak luka di dalam dirinya. Selamat datang di Tentena: di balik keindahan yang ditunjukkannya, ada beribu luka dan kepedihan yang tersimpan.
Grace Leksana
Tulisan ini juga dimuat di www.sekitarkita.com
Selamat Datang di Tentena (Bagian I)
31 Maret 2006
[1]
Selamat datang di Tentena! Kota sejauh 62 km dari Poso ini jauh berbeda dengan Poso. Kedua kota ini memiliki keindahan yang berbeda. Di Tentena pun, aku menikmati keindahannya. Dingin, dikelilingi pegunungan dan danau, tidak seperti Poso yang dikelilingi oleh pantai dan terasa betul teriknya matahari. Namun satu hal yang paling penting… Tentena adalah surga alkohol. Tidak seperti Poso, dimana perda melarang penjualan alkohol dalam bentuk apa pun (kecuali di warung-warung yang dijaga brimob), di Tentena warung paling kecil pun pasti menjual alkohol. Bir bintang, anggur cina, saguer, cap tikus dan teman-temannya. Surga alkohol ini pula yang membuatku tidur lebih cepat semalam. Bukan lebih cepat sih, hanya saja mengobrol dalam keadaan mabuk dalam kamar para pria, tertidur di saat mereka masih mengobrol, dan secara tidak langsung memaksa seorang pria untuk pindah dan tidur di kamar wanita. Di antara yang lain, aku tidur paling awal dan bangun paling telat keesokan paginya. Ini pula yang menyebabkan aku tidak sanggup lagi menulis jurnal semalam.
Subuh pagi tadi aku terbangun karena kedinginan. Selimut yang sudah kusiapkan di kamarku menjadi sia-sia karena aku sudah terkapar di kamar pria, hanya dibekali sarung tipis. Aku sulit untuk terlelap lagi karena dua sebab. Pertama, udara dingin menyebabkan hidungku tersumbat. Sebab yang kedua adalah kenangan akan bom Tentena saat kedatangan terakhir kami di sini. Pengalaman menakjubkan sekaligus menyakitkan itu masih segar dalam ingatanku. Tidak ada yang mengira akan terjadi hal mengerikan seperti itu. Pagi itu kami semua bangun masih dengan perasaan sedikit mengantuk, berpikir bahwa kami akan mengulangi prosedur FGD yang sama untuk ke sekian puluh kalinya. Ada pula perasaan senang karena akan bertemu anak-anak SMP di Tentena yang tentu saja memiliki karakteristik berbeda dengan Poso. Entah apa lagi komentar, hal-hal lucu atau gaya ABG mengejutkan lainnya yang akan kami temui di sekolah itu. SMPN Kristen 2 Pamona Utara adalah sekolah yang kami tuju. Jaraknya hanya beberapa menit saja dari penginapan kami. Kami tiba beberapa saat sebelum waktu FGD yang telah disepakati dengan pihak sekolah. Tidak ada lapangan bersemen di sekolah itu, hanya lapangan rumput dengan tiang bendera di tengahnya. Ruang kelas, ruang guru, perpustakaan dan laboratorium tersusun seperti huruf U, mengelilingi lapangan rumput tersebut. Para murid sudah memasuki jam pelajaran saat kami tiba. Hanya beberapa anak saja yang masih tampak berkeliaran di depan kelas. Setelah bertemu dengan salah satu guru penanggung jawab, kami diberi tahu bahwa ada dua ruangan yang akan dipakai untuk FGD. Kelas untuk FGD kelompok anak perempuan adalah laboratorium Biologi. Beberapa anak perempuan sudah duduk manis melingkar di sekeliling meja laboratorium saat aku dan Harla masuk ke dalam ruang tersebut. Gambar alat pencernaan katak, meja ubin berwarna putih, wastafel serta beberapa peralatan Biologi terlihat dalam ruangan itu. Harla sedang menyiapkan peralatan yang akan kami gunakan untuk FGD, begitu pula denganku. Saat sedang melakukan hal itu, aku baru sadar bahwa ada peralatan lain yang tertinggal di mobil kami. Setelah memberitahu Harla bahwa aku akan mengambil peralatan tersebut, aku langsung berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Aku masih sedikit mengantuk sambil celingak celinguk melihat tingkah polah anak-anak SMP ketika berjalan di lorong itu. Hal yang ada di dalam pikiranku saat itu adalah kenanganku sewaktu duduk di bangku SMP. Aku sama ABG-nya seperti mereka: mengikuti mode terbaru, cinta monyet, gosip dengan sesama anak perempuan, menyontek PR, dll. Bersamaan dengan ingatan akan masa SMP-ku di langkah ke sekian, saat itu juga bom di samping sekolah meledak.
Bunyi memekakkan telinga, teriakan anak-anak, semua orang berhamburan menuju ke tengah lapangan sekolah. Selama sekian detik aku seperti orang mati. Tidak ada pikiran dalam otakku, hanya melongo dan merasa terkejut sekali. Aku bahkan belum sadar bahwa ledakan barusan adalah sebuah bom. Tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku malah berusaha masuk ke sebuah kelas untuk bersembunyi. Ketika aku berusaha masuk ke kelas itu, semua anak-anak yang ada di dalamnya berlarian keluar. Mereka semua mendorongku, sehingga masuk ke dalam kelas itu adalah hal yang tidak mungkin. Lagipula, itu adalah tindakan yang bodoh juga. Raut muka takut dan panik yang dipancarkan anak-anak yang berkumpul di lapangan telah menyadarkanku bahwa ledakan tadi berasal dari sebuah bom. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat anggota rombonganku yang lain; sedang berdiri di samping mobil sewaan kami, juga dalam keadaan melongo. Aku langsung teringat Harla yang kutinggalkan di laboratorium Biologi. Aku bergegas kembali ke ruangan itu, menemui dia dan melihat para anak perempuan yang semula duduk manis telah berhamburan keluar ruangan. Anak-anak perempuan itu hanya berdiri di depan kelas, berusaha melihat ke tengah lapangan. Ekspresi terkejut bercampur takut dapat kulihat jelas di wajah mereka. Mungkin ekspresiku saat itu juga demikian. Mereka bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin mereka juga takut dan ragu untuk berlari ke tengah lapangan. Selama beberapa saat, mereka hanya berdiri di depan kelas. Sesaat kemudian, seorang guru mengambil mikrofon dan menyuruh seluruh anak untuk berkumpul di tengah lapangan. Aku dan Harla langsung membereskan peralatan kami dan menuju anggota rombongan lain yang berada di tengah lapangan. Kami berjalan melalui lorong yang semula aku lalui. Aku melihat pecahan-pecahan kaca berhamburan di lorong itu. Jika saja aku berjalah lebih jauh sebelum bom meledak, beberapa pecahan kaca itu pasti akan mengenai tubuhku.
Kami langsung bergabung di tengah lapangan. Anak-anak, para guru dan semua anggota tim kami berdiri di sana. Para guru berusaha menenangkan anak murid mereka, sedangkan kami berusaha menenangkan diri kami masing-masing. Para guru berusaha menenangkan anak-anak dengan memberikan beberapa pengarahan dan melarang anak-anak untuk meninggalkan sekolah. Anak-anak harus tinggal di sekolah sampai orang tua mereka datang menjemput atau keadaan sudah cukup aman sehingga mereka bisa pulang sendiri. Ian, seorang teman kami dari Crisis Centre GKST telah berjaga di pintu gerbang agar tidak ada anak yang berusaha lari meninggalkan sekolah. Perhatianku tertuju kembali pada wajah-wajah tegang dan kebingungan yang ada di tengah lapangan. Beberapa anak laki-laki bercerita dengan seru kepada temannya. Dalam bahasa daerah mereka bercerita tentang apa yang sedang mereka lakukan saat bom meledak. Anehnya, cara mereka bercerita seperti menuturkan film action. Ledakan bom mereka peragakan dengan melompat, kekagetan mereka peragakan dengan memegang dada mereka. Semua itu mereka lakukan dengan tertawa kecil, meski tergambar rasa takut di wajah mereka. Sesaat kemudian perhatianku tertuju pada seorang anak perempuan, dengan wajah takut dan menangis, berkata pada temannya dalam bahasa daerah “Ibuku ada di pasar”. Ketika bom itu meledak, kami semua tahu bahwa bom itu berasal dari salah satu kios di pasar. Karena sekolah ini berdampingan dengan pasar, maka ledakan bom telah merusak beberapa bagian dari sekolah tersebut. Kaca jendela serta atap beberapa kelas yang terletak bersebelahan dengan kios-kios di pasar telah hancur. Masih menangis, anak perempuan itu berlari menuju pintu gerbang, lalu memeluk seorang perempuan dewasa yang menghampirinya di pintu gerbang. Kuduga itu adalah ibunya, yang ia khawatirkan. Dalam hati aku bersyukur juga karena sang anak dan ibu masih bisa bertemu. Ketika perhatianku terpaku pada anak perempuan dan ibunya itu, terdengar suara ledakan kedua.
Sep 20, 2010
maaf...jangan mengotori Indonesia...
trotoar pun dipakai orang buat memancing uang
sesaat muncul lampu kuning
itu bukan berarti "ayo ngebut, sebelum lampu merah"
disana ada sebuah mobil mewah berhenti
seorang remaja keluar dengan raut wajah kesal
baterai telepon genggamnya habis
dia kesal bercampur bingung
apa yang harus dilakukan?
dia tidak pernah naik angkutan umum
enggan
lagipula dengan apa ia harus membayar?
dompetnya hanya berisi kartu kredit
malamnya ia mengisi blog
semuanya dia ketik memakai bahasa inggris
lalu membuka web tentang global warming
mencaci maki yang membuat bumi ini panas
padahal pendingin ruangannya aktif setiap hari
ibunya lalu pulang dari berbelanja
tidak mau berbelanja di pasar tradisional
bau
becek
dan takut terkena matahari
esoknya ia malas pergi kemanapun
dia melihat seorang ibu yang tak mampu sedang sakit
dan anaknya yang tak bisa sekolah
lalu ia melihat tv lokal
dengan musik lagu cinta
dengan sinetron berjudulkan nama karakternya
kemarin ia lewat jalan biasa
penuh dengan gambar promosi-promosi dan janji-janji
uangnya ia habiskan
beli barang yang ia inginkan
uangmu belum tentu dari jerih payahmu juga
tapi disini uang penting
sebuah benda yang terkesan lebih hebat dari Tuhan
disini terdapat peraturan
"jangan sakit, kalau tidak punya uang"
"jangan sekolah,kalau tidak punya uang"
"yang punya, hidup enak dan berkuasa"
kita negara agraris
kita negara maritim juga
bukan
sebentar lagi kita menjadi negara industri
tidak ada petani
tidak ada nelayan
padang rumput sepi
laut hening
lantas saya harus menggambarkan seperti apa?
cukup?
saya hanya berpesan
"maaf..jangan mengotori indonesia..."
(ditulis untuk Indonesia, teringat dengan lagu-lagu baik seperti kolam susu (koes plus), rumah kita (god bless), berita kepada kawan (ebiet g ade), dll. Teringat juga dengan sinetron yang luar biasa seperti keluarga cemara. Terinspirasi juga oleh situasi jakarta ketika saya menaiki angkutan umum, para penumpang angkutan umum, yang jarang menggunakan bahasa Indonesia, "menjadi Indonesia" (efek rumah kaca), bioskop metropole, konsumerisme dan masih banyak lagi...
tulisan ini sudah dimuat di notes facebook, 6 Februari 2009
Sep 18, 2010
Membaca Indonesia
"Wiiih, The Grand Design-nya Stephen Hawking udah keluar, pa! Beliin, ya." kataku seraya mengangkat sebuah buku hardcover tebal ke arah papa. Beliau mengangguk tanpa melihat ke arahku, sibuk memperhatikan rak-rak tinggi berjejalan ratusan bahkan ribuan buku di hadapannya.
Setelah selesai mengambil judul yang dimau, kami berjalan ke arah kasir, menaruh tiga judul buku di meja transaksi, membayar totalnya, lalu bergegas keluar. Papa berkata,
"Pernah terpikir nggak, nak, kalau kita hampir tiap minggu ke sini, berbelanja buku, yang kalau ditotal-total mungkin kita bisa menyekolahkan banyak orang yang tidak pernah kenal buku dan pendidikan..."
Saya terdiam. Bukan karena tidak punya jawaban, bukan karena apa yang dikatakan papa tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Tidak. Saya sering memikirkan itu. Aksesibilitas untuk literatur dan buku di Indonesia masih rendah. Sangat rendah. Beruntunglah saya, papa, keluarga kami dan jutaan keluarga lain yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar. karena faktanya, di kota ini kita masih punya banyak toko buku, ada perpustakaan di sekolah dan kampus kita, ada akses internet di rumah dan tempat umum, kita dengan mudah belanja e-books di Amazon, membaca gratis di Google Books atau mendownload artikel dan publikasi lain. Lucunya, dengan segudang fasilitas ini -- yang walaupun memang masih jauh dari bagus dan sempurna -- kita masih sering mengeluh tentang kesulitan akses literatur. Dan lucunya lagi kita masih memiliki minat baca rendah.
Saya sendiri tidak tahu pasti tentang kondisi faktualnya, tapi saya duga kondisi di daerah pasti lebih buruk dari di sini. Memang statistik Human Development Index terbitan UNDP tahun lalu1 menyebutkan literacy rate negeri ini sangat tinggi, lebih dari 96% penduduknya bisa membaca. Tapi yang jadi pertanyaan mungkin bukan kemampuan membaca, yang jauh lebih penting dari itu adalah pertanyaan, dari 96% rakyat Indonesia itu siapa yang kenal buku, terekspos dengan literatur, punya akses kesitu dan memiliki minat membacanya? Ini misteri yang musti harus dijawab bersama. Punya kemampuan membaca bukan hal yang spesial dan patut dirayakan, yang lebih dari itu adalah kemauan untuk membaca.
Saya dan papa kebetulan memang sama-sama kutu buku yang senang menggerogoti halaman demi halaman teks, kami berdua concern dengan masalah ini, dan sering menghadiri (atau tidak sengaja bertemu di berbagai) seminar, diskusi dan forum yang berkaitan dengan buku dan minat baca di Indonesia. Dari apa yang sering terlontar di diskusi dan seminar-seminar itu: banyak hal yang sering dijadikan kambing hitam dari rendahnya minat baca kita, mulai dari daya beli masyarakat, larangan buku oleh pemerintah, tingkat edukasi, kehadiran TV dan internet yang menyebabkan kita malas membaca dan lainnya semua pernah dibahas. Tapi apa iya semua itu faktor signifikan dalam menentukan minat baca masyarakat kita? Mungkin juga tidak.
(saya dan papa berbelok ke arah eskalator, turun satu lantai, sambil tetap melanjutkan obrolan)
Mari sedikit berbodoh ria, saya pernah melakukan penelitian semi-ilmiah tentang minat baca (sampel: teman-teman dan orang di dalam social circle saya), dari apa yang saya dapat: pertama, faktor daya beli tidak berpengaruh terhadap minat baca. Teman-teman saya banyak yang tidak ragu untuk membayar makan siang puluhan atau ratusan ribu, namun berpusing-pusing memikirkan untuk membeli buku seharga 35 ribu di toko buku. Kedua, tingkat edukasi juga tidak berpengaruh: teman-teman saya yang seumuran, hampir semuanya pernah atau sedang mengenyam pendidikan tingkat universitas. Teman-teman saya yang usianya lebih tua malah ada yang sedang mengambil S2 (atau sudah lulus), tapi apa mereka senang membaca? Kecuali untuk kebutuhan akademik dan kewajiban tugas, mereka jarang membaca di waktu luang. Ketiga, kehadiran TV dan internet: ini mungkin satu faktor yang, di satu sisi, bisa sangat mendukung aksesibilitas ke buku dan meningkatkan minat baca, namun di sisi lain bisa mematikannya. Saya mengamati teman-teman saya lebih senang menghabiskan waktu di depan TV dan internet untuk menonton video, bermain FB dan Twitter ataupun sibuk dengan mengalahkan boss terakhir di game, sedikit sekali yang dengan suka rela membuka laptop, Mac atau PC-nya untuk membaca artikel yang bersebaran di internet.
Temuan lain yang agak menggelitik saya baca dari penelusuran di internet, bahwa ada banyak mitos mengenai aktivitas membaca di masyarakat kita, yakni 1) membaca hanya untuk orang yang punya waktu luang 2) membaca tidak lagi dibutuhkan saat ini, informasi kini bergerak di mana-mana 3) membaca masih diasosiasikan dengan tidak gaul, geek dan anti-sosial. Dengan stereotipe-stereotipe ini, mau tidak mau pembaca di Indonesia jadi semakin terpinggirkan ("kita ini kaum marjinal," kata salah satu dosen saya, yang -- ketika hal itu saya ceritakan ke papa -- diamini oleh beliau.) Bukan memposisikan diri saya sebagai expert, toh saya bukan mahasiswa teladan dan pintar, tapi menurut saya mungkin minat baca tidak harus dipersepsikan dalam kontinuum tinggi-rendah. Minat baca mungkin harus disesuaikan, dibuat culturally relevant, disegmentasi lebih spesifik, karena tidak setiap orang punya konsep yang sama mengenai aktivitas membaca. Saya, yang besar dan tumbuh di keluarga pembaca, jelas jadi lumrah soal aktivitas baca-tulis, itu keseharian, jadi satu dengan kehidupan saya, seperti bernapas. Mereka yang ditempa sebagai akademis, pasti juga ditumbuhkan minat bacanya secara perlahan, konsep mereka tentang membaca mungkin beda dengan konsep saya dan papa. Bagi mereka, membaca perlu dikaitkan dengan tujuan yang lebih besar, misal untuk dijadikan referensi paper ilmiah, sementara bagi saya, membaca itu hobi, passion, tidak perlu dikaitkan dengan apa-apa, sudah nikmat dengan sendirinya. Yah memang, untuk menjadikan minat baca sebagai budaya, sebagai sesuatu yang mengakar, bagi Indonesia pasti masih panjang jalannya. Sebagai pembaca, tidak banyak yang bisa saya kontribusikan untuk menjawab misteri ini, paling hanya menyebar informasi tentang buku bagus yang patut dibaca, atau meminjamkan ke mereka yang ingin meminjamnya. Tapi toh itu sudah sesuatu, dan semoga saja berguna.
Sembari berjalan ke arah tempat parkir, saya dan papa mengakhiri obrolan kami tentang baca. Sebelum masuk ke dalam mobil, papa berpesan satu hal, "nak, obrolan kita tadi jangan cuma sampai disitu lho, nanti malam ditulis ya, siapa tahu ada yang tertarik untuk membacanya di luar sana. Siapa tahu."
Sambil tersenyum, saya menginjak pedal gas menuju ke arah lalu lintas padat Jakarta.
[1]. bisa diunduh di http://hdr.undp.org/en/statistics/
Catatan: tulisan ini sebenarnya saya buat awal bulan ini, tepatnya tanggal 8 September 2010 untuk merayakan International Literacy Day
Sep 17, 2010
Yang Melupakan, Yang Terlupakan
Milan Kundera
Faber & Faber, 1996
"The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting." (hal.4)
"The future is only an indifferent void no one cares about, but the past is filled with life..." (hal.30)
Ini adalah tema besar pertama yang diusung The Book of Laughter and Forgetting: memori. Pada satu atau beberapa titik di kehidupan, kita pasti pernah memiliki tendensi dan bahkan keharusan untuk melupakan sesuatu dari memori kita. Menghancurkannya, membuangnya jauh-jauh. Biasanya kesadaran untuk melupakan terbersit dari pengalaman buruk dan menyakitkan yang tidak ingin lagi kita ingat. Milan Kundera mengajak kita memahami pengalaman melupakan dari perspektif yang sangat ambigu dan penuh teka-teki. The Book of Laughter and Forgetting menampilkan tujuh cerita yang mengajak kita melihat bagaimana kata 'lupa' punya efek nyata dalam kehidupan, tidak hanya lupa secara biologis -- seiring bertambahnya usia -- tidak hanya 'kelupaan' yang terjadi tanpa sengaja, tapi juga lupa yang secara sadar dilakukan: melupakan. Bahkan hingga lupa yang menyakitkan, dilupakan dan terlupakan. Di buku ini Kundera juga memperkenalkan konsep 'damnatio memoriae', yakni pelupaan yang dilakukan secara sadar, kolektif dan bersifat memaksa, seperti saat jutaan warga Ceko dipaksa melupakan Clementis setelah bukti-bukti mengenai keberadaan dirinya dihancurkan. Dalam level yang lebih personal, tujuh cerita di buku ini mengusung konsep serupa, seluruh karakter disini secara sadar mengalami proses melupakan, atau secara tidak sadar, dilupakan, baik oleh individu lain ataupun oleh lingkungan sekitarnya.
"For everyone is pained by the thought of disappearing, unheard, unseen, into a different universe..." (hal.147)
"Laughter? Do people ever care about laughter? I mean real laughter, beyond joking, mockery, ridicule. Laughter, an immense and delicious sensual pleasure..." (hal. 79)
The Book of Laughter and Forgetting adalah sebuah novel yang sangat filosofis, cerdas dan menguras emosi. Ada empat poin utama yang patut diberi perhatian lebih di buku ini. Pertama, buku ini ditulis dalam gaya semi-fiksi: Kundera melebur imajinasinya dengan setting asli tentang keadaan sosial politik Cekoslovakia dibawah rezim komunis yang berlangsung dari tahun1948 - 1989. Peleburan fakta dan fiksi paling terlihat di cerita ketiga (The Angels) dimana Kundera sendiri yang menjadi karakter utama dan menuliskan secuplik autobiografi ketika ia dalam proses menulis buku ini lalu harus berhadapan dengan ketatnya aturan rezim komunis. Kedua, buku ini memiliki tone yang sangat melankolis dan kelam, hampir semua karakter -- dalam tujuh cerita di buku -- pernah mengalami kejadian pahit yang terekam dalam memori mereka, dan secara sadar berusaha melalui proses pelupaan, atau secara tidak sadar tengah dilupakan. Tone melankolis inilah yang membuat alur buku terasa sangat lambat, namun tetap puitis dan tidak membosankan. Ketiga, Kundera menyelipkan banyak adegan romantis dan seks dalam bukunya, kesemuanya ditulis dengan bahasa yang sangat bebas dan vulgar, sehingga mereka yang tidak terbiasa akan gaya tulisan Kundera mungkin akan merasa sedikit risih dan terganggu. Poin keempat, buku ini adalah terjemahan. Awalnya Kundera menulis buku ini dalam bahasa Ceko di tahun 1976 dan kemudian ia terjemahkan sendiri ke dalam bahasa Prancis pada tahun 1985 sebelum akhirnya diterbitkan secara internasional dalam bahasa Inggris, hal ini mungkin yang menjelaskan kenapa beberapa bagian dalam bukunya terasa 'janggal', proses translasi yang berulang dalam beberapa bahasa tadi nampaknya tidak terasa 'menempel' satu sama lain, sehingga translasi akhirnya terasa kurang nikmat dibaca. Namun di luar itu, kita harus angkat topi kepada penerjemah bahasa Inggrisnya (oleh Aaron Asher tahun 1992), karena mampu mempertahankan gaya menulis Kundera yang sangat simbolik, indah dan puitis.
Secara keseluruhan, The Book of Laughter and Forgetting adalah sebuah karya klasik yang -- tidak seperti judulnya -- sangat pantas untuk dibaca dan diingat.
Tuhan dan Hantu
Jika Tuhan tak pernah lahir
Mungkin hantu tak akan hadir
Ya..
Jika memang Tuhan tak pernah mampir,
Siapa tahu hantu tak kan jadi buah bibir
Walau pada kenyataannya..
Tuhan sudah terlebih dahulu tampil
Dan hantu lagi-lagi menjadi tokoh amatir
Yang hari ini, kembali digiring masuk ke dalam botol bir
*untuk acara televisi yang begitu senang memasukkan hantu ke dalam botol bir
pulang ke rumah..
This is home
Now im finally where I belong, where I belong
Yah this is home, ive been searching for a place of my own,
Now I found it, maybe this is home
Yes this is home
~Home by Switchfoot
Be careful what you wish for,
'Cause you just might get it all.
You just might get it all,
And then some you don't want.
~Home by Daughtry
Rumah.
Ada sejumlah definisi tentang rumah ketika mengetik keyword 'home' di internet..
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://dictionary.reference.com/browse/home
Pulang.
Rumah dan pulang.
Dua kata yang seringkali berkaitan.. Dua kata yang seringkali mengganggu pikiranku..
Pulang ke rumah..
Aristoteles bilang, manusia adalah makhluk sosial. Tidak bisa hidup sendiri.
Aku pulang, karena ada orang lain yang menerima aku di rumahku.
Manusia pulang, karena disana ada orang lain yang siap menerima mereka.
Manusia pulang, karena mereka butuh orang lain untuk menerima mereka apa adanya.
Aku menghakimi diriku sendiri bahwa aku adalah seorang petualang.. Semua tempat adalah rumahku..
Tanpa menyadari.. Aku egois.
Ya. Aku egois.
Aku bisa pulang kemanapun.. Tapi apakah mereka yang di rumah benar-benar aku kenal? Aku hanya seringkali berkeluh kesah di rumah.. Tidak peduli mereka mendengar atau tidak. Tapi kalau mereka tidak mendengarku, aku akan mencari rumahku yang lain.
Hingga suatu hari, aku tersentak.
Tak ada seorang pun di dunia ini yang benar-benar mengenalku.
Tak ada seorang pun di dunia ini menerima aku untuk pulang ke tempat mereka.
Aku merasa bisa hidup sendiri.
Tapi..
Siapa aku?
Aku sendirian. Aku bukan manusia.
Ya. Aku si egois ini.
Sendiri.
Bukan manusia.
sebuah catatan untuk mereka yang merasa tidak punya rumah untuk pulang. percayalah bahwa itu hanya perasaan egois semata.. hilangkan keegoisanmu, dan kamu akan menemukan rumahmu disana..
Room 1005
Hari masih gelap waktu aku beranjak meninggalkan pelataran rumah. Warung-warung makan terang-benderang menyambut pengunjung yang datang untuk mengawali puasa mereka. Sedangkan aku, rasanya sudah sejak dini hari inilah jam kerjaku dimulai.
Bukannya memejamkan mata lagi sepanjang perjalanan, aku malah sibuk merias wajah. Yaahh.. mengingat bahwa setibanya di tempat tujuan nanti pasti tidak ada waktu untuk berdandan, satu-satunya yang kupunya ya waktu di perjalanan di kursi belakang taksi ini. Walaupun kemudian aku merasa sangat bodoh karena melakukannya. Toh tidak terlihat apa-apa dari cermin. Pantulan wajahku pun tidak. Langit benar-benar terlalu gelap. Jalanan masih sepi.
Tapi rupanya bandara sama sekali tidak demikian.
Waktu masih menunjukkan jam lima pagi, tetapi antriannya.. bahkan sudah melewati pintu yang membatasi ruangan. Belum lagi saat check-in, yang antriannya sudah mengular entah berapa orang.
Dan aku merasa beruntung kali ini mengenakan sepatu berhak rendah. Setidaknya, masih bisa membuat betisku bertahan lebih lama.
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk menunggu hingga akhirnya nomor penerbanganku diumumkan melalui pengeras suara. Sudah saatnya naik ke pesawat.
Tepat sejak aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya, di situlah pekerjaanku dimulai untuk hari ini.
Sampai seterusnya, tiba di kota tujuan, pergi ke kantor klien, melakukan apa yang sudah menjadi tugasku, bertemu dengan mereka-mereka dari instansi yang harus ditemui, dan ini dan itu.
Baru sore inilah akhirnya aku terbebas dari semuanya.
Kembali ke kamar hotel, meletakkan barang-barang bawaan. Mengganti sepatu hitam berujung runcing dengan sandal tipis bercetak logo dan nama hotel. Menukar blus dan blazer dengan kaos putih, juga celana panjang hitam ketat dengan celana panjang hijau pupus yang biasa kukenakan untuk bersantai.
Kubuka lebar-lebar gordijn yang menutup jendela, sehingga tampaklah pemandangan kolam renang dari atas sini.
Lalu entah kenapa, aku teringat padamu.
Bahkan menatap ranjang besar di tengah kamar ini juga, mengingatkanku padamu. Pada kita.
Pada hari-hari itu.
Pada kebohongan-kebohongan kecil kita.
Aku beralasan pada si bos bahwa aku tidak terbiasa tidur sekamar berdua, dan kau beralasan pada anak-anak buahmu bahwa kau sedang ada janji dengan seorang klien lain. Aku beralasan sedang diet dan menghindari makan malam, lalu kau beralasan sedang ingin menjelajahi kota sendirian.
Atau entah bagaimana caramu, seperti sebuah kebetulan yang berulang, kita selalu bisa bertemu di kota yang sama.
Lalu dilanjutkan di kamar yang sama.
Kamarku, kadang-kadang kamarmu.
Menghabiskan sepanjang malam berdua, sama-sama menahan diri untuk tidak membuat kegaduhan, berusaha keras untuk tidur tapi ternyata ada hal lain yang tidak bisa tertahankan godaannya untuk dilakukan, membuat ranjang dan seisi kamar berantakan dengan helai pakaian yang bertebaran entah ke mana, sampai akhirnya tersadar bahwa pagi sudah menjelang dan kita harus kembali ke kamar masing-masing.
Berpura-pura tidak ada apa-apa.
Berpura-pura tidak saling mengenal.
Pulang sendiri-sendiri ke kota asal, dan berharap akan ada pertemuan serupa berikutnya.
Seperti yang saat ini sedang kulakukan.
Berharap kau tiba-tiba akan menelepon untuk memberitahukan kau sudah ada di lobby. Seperti biasanya.
Just in case I fall asleep and not telling you yet, I'm in the room 1005.
Sep 16, 2010
Satir Modernitas
"We were all fractious and overpaid." (hal.3)
Then We Came to The End tidak memiliki karakter utama, cerita yang ditulis Ferris lebih mirip seperti sebuah kolase besar, tersusun dari fragmen-fragmen dan anekdot kecil yang saling menyatu di akhir. Narator dalam buku ini sendiri sangat tidak lazim karena menggunakan kata orang pertama jamak, yaitu 'kami.' Ceritanya berpusat di sebuah kantor advertising di Chicago, lengkap dengan makhluk-makhluk yang hilir mudik di tempat itu setiap harinya: mulai dari manajer, akuntan, proof-reader, story board artist, graphic designer, art director, hingga satpam, semua mendapat giliran untuk diceritakan.
"...almost nothing was more annoying than having our wasted time wasted on something not worth wasting it on." (hal.86)
"If you're going to make bad jokes, at least make them half-funny." (hal.145)
Tanpa dipotong ke dalam bab dan bagian lebih kecil, Then We Came To The End memang terasa sebagai satu cerita utuh yang besar, menyeluruh dan berkelanjutan, namun bisa jadi juga sangat sulit untuk diikuti, karena tidak ada titik jelas dimana pembaca bisa beristirahat sejenak dari cerita, semua terus berjalan seakan tanpa henti. Namun lepas dari segi teknis dan gaya penulisan Ferris, Then We Came To The End memang sangat menarik, sebuah cerita yang menjelajah dunia profesional, dari ruangan ke ruangan, dari meja ke meja. Buku ini dengan sangat berhasil menampilkan dunia profesional sebagai dunia yang sangat artifisial, dunia robotik dimana 'selamat pagi', 'apa kabar' dan 'terima kasih' tidak lagi keluar dari ketulusan, melainkan dari rekaman, dipasang kencang-kencang melalui speaker, dunia dimana relasi dijalin bukan dari kesamaan hobi, kecocokan preferensi atau ketertarikan antar pribadi, tapi dijalin dari untung-rugi, dijalin dari eksploitasi, apa yang bisa saya dapatkan dari orang ini, apa ia bisa berguna di kehidupan saya. Dan ending dari buku ini juga terasa sangat menyindir, sangat mengejek, sangat tidak terduga, dan akhirnya, menyimpulkan segalanya dalam lelucon penutup yang luar biasa lucu dan menyakitkan.
Jika anda berniat membaca Then We Came To The End: selamat menertawakan diri sendiri.
pada sebuah pasar
oleh Gagah Wiarso pada 19 Mei 2009 jam 23:48
"capucino panas aja bu"
"baru gajian lagi?"
"ah ngak masih kere koq bu.. lagi pengen yang manis aja"
"lagi seneng yah sampean. udah kepilih capresnya dukung yang mana jadinya?"
"hehe iya pak udah enak sekarang gak banyak manuver dah jelas jadi enak nulisnya juga mau lari lari kemana juga tahu. kalo kmren harus sana sini.. nunggu mana yg ngomong duluan."
"lah yo ngono to.. yo mesti ora ngrusa ngrusu kalo dadi pemimpin"
"ah bapak bisa aja.. rokok pak.."
"monggo.."
"tapi lucu ya.. kenapa milihnya bukan orang politik.."
ah gak lucu koq .. bukan kata yang tepat kalo dibilang lucu. dengan trouser dan blouse seperti itu dia lebih cocok dibilang classy.. tipe pekerja yg nyasar di pasar waktu pertama kulihat. belum lagi potongan rambutnya yg pendek dan di bob.. untungnya dengan sepatu hak pendek nyaris tanpa hak
mungkin cuma aku yg melihatnya ganji. tapi pedagang pedagang di sini tak banyak yg berkomentar Entah dia tampaknya sudah menyatu dengan pasar ini.. atau memang sudah terbiasa dengan kehadirannya
"eh mas melamun aja.. kopinya mana ? si ibu lupa lagi tuh.."
"iya bentar yah nagmbil kopi"
"bu capucinonya dah jadi belum"
"eehehe bentar yahh lupa ibu"
"wis tak tunggu"
dan bunyi gesekan logam dan percikan api mengiri wangi tembakau yg terbakar..
iya seperti biasanya di hari selasa pagi ia akan datang menawar buah dikios seberang warung ini.
"sudah beli apel sana di depan kayak minggu kmrin. biar seger. masih boleh to beli satu biji sama bu'e"
"lebih seger kamu habis makan buah. kopinya aku taruh di meja nanti.
...Untuk kedatanganmu Bukankah engkau telah berjanji Kita jumpa di sini Datanglah, kedatanganmu kutunggu...
" hey bah kenceng kali kau setel itu speker ditegur lagi kau nanti sama si slamet.."
"hehe maaf bang aku kecilin dikit deh"
"eh yang lain lah kau setel itu musik pagi pagi sudah mendayu dayu.. mentang mentang melayu.'
"semangat sikit lah kita"
"eh gitu gitu pangeran dangdut tuh bang.."
"macam macam kali tak cukup apa ada raja dangdut"
duh mulai lagi deh batak lawan betawi.. hmmppp
klik
C A minor D minor ke G ke
C lagi A minor D minor ke G ke
C lagi A minor D minor ke G ke
C lagi
Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi syairnya..
"lah macam mana lupa koq nyanyi.."
"ah sia abang protes aja di kasih yg semangat masi protes.. lagi laku itu bang mp3nya.
mirip kiss band tuh keren dandanannya"
"bah band macam gitu laku.. ada ada sajalah ini sekarang yg lupa lupa mala laku.. kalo nanti presidennya suka lupa lupa cem mana nanti."
"ah si abang bosen bang ngomong politik enakan dengerin musik laku lagi ni dijual"
"eh jangan kau bilang bilang bilang tak suka nati kau kayak dia tuh.."
"eh mana dia? eh...?"
"aaahh nah itu dia dibelakang kaya dia itu bialang tak suka tak suka. kalo sudah diajak ngobrol nyambungnya ya di situ juga.. eh foto kau juga yg dimuat itu bau bau politik kan."
"ia lay" aku cuma bisa senyum simpul mendengarnya dan satu gumpalan asap memenuhi mulut dan hidungku dengan cepat dan menghambur ke udara.
" ya sudahlah asal jangan itu dangdut lagi pagi pagi"
ah bukan bukan dangdut pagi itu musiknya
walau sudah dikemas lebih modern tetap saja tak bisa menggantikan kesan modern jazz.
entah kenapa buatku jazz itu modern mungkin karena sudah masuk banyak rumah rumah bertingkat di jakarta. walau dulu cuma ada di pub pub gelap pinggir kota dinyanyikan negro negro rapi tapi kumal ditemani segelas bir atau wangi alkohol
iya swing jazz..
sedikit mendayu tapi lincah dan ringan bergerak tidak terlalu sepat.. mungkin di ramu dengan smooth sedikit.
seperti berjalan di awan yg tebal dan namun dapat menyelinap dengan lembut seperti iklan diet sehat modern di iklan
diana krall...
dengan rambut hitam pendek bob
tak sependek natalie portman atau audy hepburn
hmm bukan chubby tapi karena memang rahangnya cukup besar buat seorang wanita..
cenderung tegar tapi bukan tegas
kulit sawo matang cenderung ke putih kuning
yah kalo kata anak anak ROL (ray of light) asli di pagi hari memang bisa membuat kesan cerah
hmm bahkan mungkin sedikit glamour
walau tas kresek yg dijinjingnya waktu itu
"repot yah kalo jadi pejabat karus ketemu orang mau kerjasama aja repot ketemu berkali kali. kalo aku cukup minta ijin sama yg jaga dah boleh jualan"
"ah ya itu namanya diplomasi. ngak boleh buru buru harus diatur pelan pelan."
"ah sama aja kayak kau itu nanti kalo jadi pemimpin bagi bagi juga kayak kau bagi bagi sama slamet
. cuma bedanya kamu bagi bagi selenbar lima puluh ribu sama si slamet kalo mereka bagi bagi tugas.. kalo uang tak tahu lah aku. yah memang repot."
iya.. padahal tidak terlihat repot belanjaan yang di bawanya.
tapi entah sawi.kembang kol dan beberapa sayuran hijau lainnya tiba tiba terjatuh dari tas kresk putihnya
"aduh.."
"boleh saya bantu.."
"ah iya.. sorry ngerepotin"
"ah ngak apa apa.. banyak juga belanjaanya"
"ah iya."
"bu.. aku minta apelnya yah.."
"brapa?"
"satu aja"
"ya udah ambil aja."
"mau beli buah juga?"
" ah h iya.. jeruk sunkist ada bu?"
"oh ada kok bentar ya diambilin di belakang."
"eh kamu tunggu yah bayarnya masih lama to ibu ambiln buat mbak ini dulu"
"maaf yah jadi menunggu sekalian aku aja apelnya."
"oh iya gpp cuma satu koq apelnya."
entah brapa umurnya 20.. 25.. 30.. ah tidak setua itu
"iya.. sekarng ini terakhir jaman yg tua tua itu.. yg belum kebagian kursi kursi jadi presiden yg masih belum puas pemikiranya digunakan untuk bangsa ini."
"loh emang yang muda muda gak boleh apa?"
"semua ada waktunya.. nah 5 tahun setelah ini baru yang muda muda yg memimpin berikutnya.. yang tua tua siapa lagi.. sudah bukan waktunya lagi.. kalo mereka besok 5 tahun lagi masih rebutan jadi presiden. makanya kamu kamu itu yang muda waktunya belajar jadi pemimpin"
"ah itu betul itu jangan mau terima terima nasib saja.. kalo sudah tak bisa bergantung sama pemerintah yah usaha sendiri lah. buka usaha sendiri bagus lagi bisa ngurangin pengangguran. macam dia itu dah dapet kerja akhirnya."
"buka usaha apa lagi bang ye enaknya?"
"hebat kau sudah jualan masih kurang saja atau kau ngamen saja lah sana kalo uang jualan dvd mp3 itu kurang. nah sapa tahu kau dlirik produser kah tak kalah ganteng lah dengan kanjen band itu"
"kangen band bang.."
"ah iya kanjen bend"
"ah si abang.."
"iya kalo ngak bisa jd artis ngartis aja gimana.. muncul di tipi tipi. yg penting masuk tipi jadi selebriti"
hmm yah seperti Katie Holmes atau selma blair yang dipotong Bob Cut hmm hanya tidak setua atau semuda itu.. iya diantaranya wajahnya terlihat lebih dewasa tapi entah raut mukanya menunjukan dirinya masih muda.. mungkin karena dia terliat tinggi dan terlihat sendiri. entah seperti
"mama.. mama..aku boleh minta apel itu ?"
terlihat keibuan.. yah terlihat keibuan
"boleh. tapi salim dulu yah sama om...."
"andra.."
seorang ibu muda..
" halo om andra aku keiza."
"eh om suka apel juga yah. sama dong"
"keiza liat ikan lagi ya ma.."
"iya.. jangan jauh jauh ya.."
Kei kecil.. mengingtkan selalu dengan dirinya. Marlina. Dimana dirinya sekarang ini.
"Maaf nama kamu siapa? Mas....?"
"Andra"
"Marlina?"
"Iya"
"Kamu? Andra yg...."
"Iya. Itu aku."
dan seketika kerongkonganku mengering
" eh kuminta nanti capucinno nya.. dingin nanti..." ujar pak tua berjanggut putih di kejauhan
"Entah kenapa kita bertemu di sini yah" kata Marlina kepada Andra
di kejauhan pak tua berjanggut hitam terseyum sambil menembang setelah menyeruput kopi
Laraning lara
Ora kaya wong kang nandhang wuyung
Mangan ra doyan
Ra jenak dolan nèng omah bingung
Mung kudu weruh
woting ati duh kusuma ayu
Apa ra trenyuh
sawangen iki awakku sing kuru
Klapa mudha leganana nggonku nandhang branta
Witing pari dimèn mari nggonku lara ati
Aduh nyawa
Duh duh kusuma
Pa ra krasa apa pancen téga
Mbok mbalung janur
Paring usada mring kang nandhang wuyung
WUYUNG, sebuah tembang lama jawa kuno untuk penjelasannya silahkan lihat
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090331110436AAcdzgh
kurang lebih terjemahan dari tembang Wuyung sebagai berikut ini
Sakitnya sakit
tidak seperti orang yang sedang jatuh cinta
makan (terasa)tidak enak
ndak enak main/jalan2 (tetapi) dirumah (malah) bingung
hanya ingin melihat(trus-trusan)
(wot=tempat menyebrang diatas parit/sungai biasanya terbuat dari bambu/kayu(jembatan kecil),
woting kependekan dari wot ing) tambatan hati duhai bunga yang cantik
apa tidak kasihan
lihatlah badanku yang kecil ini
(klapa muda=degan, maksudnya leganono=legakan) legakan perasaanku yang sedang kasmaran
(witing pari= damen maksudnya dimen mari=biar sembuh) biar sembuh sakit hatiku aduh nyawa
wahai bunga(bunga bisa diartikan cewek yang menarik hati)
apa memang ndak terasa atau memang membiarkan
(balung janur=soddo/lidi maksudnya usada=obat)
memberi/berilah obat kepada yang lagi kasmaran.
ada beberapa yang tidak bisa diterjemahkan langsung karena tembung sanepa.witing pari, klapa muda, mbalung janur.tetapi harus dicari artinya trus diterjemahkan.jadi maksud kata witing pari dimen mari bukan pohon padi berikan kesembuhan.tetapi artinya berikan kesembuhan.
itulah seninya sastra jawa yang sudah banyak dilupakan.
dan aku tak akan melupakanmu sampai Tuhan mengijinkan...
note :
pada sebuh pasar ditulis karena kelamaan di rumah selama sebulan di tivi isinya itu itu aja
pas lagi keluar rumah adanya estalase berjalan.. yah walau panas terik sedikit engap mau ujan
tapi kadang adem banyak yg hilir mudik
secara singkat membungkus cerita cinta politik dan musik jadi satu. maaf kalo loncat loncat.
MANUSIA YANG BEKERJA DENGAN KESADARAN PENUH
"Kerja adalah cinta, yang ngejawantah
Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cara
Hanya dengan enggan
Maka lebih baik jika kau meninggalkannya
Lalu mengambil tempat di depan gapura candi
Meminta sedekah dari mereka
Yang bekerja dengan suka cita”
- Kahlil Gibran-
Bekerja merupakan salah satu ciri manusia. Bahkan menurut menurut Arendt bekerja merupakan aktivitas manusia yang bersifat repetitif sebagai tuntutan agar ia bisa hidup.[1] Sama seperti hewan, manusia melakukan kerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, hal tersebut menjadikan manusia sebagai animal laborans. Melalui kerja, manusia menghasilkan karya yang berupa objek, menguasai alam, juga membebaskan diri dari ketertundukkan hewani. Karenanya ia disebut homo faber.
Sebuah pandangan yang sangat terkenal mengenai kerja, adalah pandangan dari Karl Marx. Pandangan ini pernah dibahas dalam sebuah kelas Filsafat Manusia yang saya hadiri. Menurut Marx, kerja pada manusia harus dipandang sebagai sebuah sarana perealisasian diri manusia, maksudnya kerja harus dipandang sebagai sebuah usaha untuk merealisasikan diri, hal itu juga seharusnya dilakukan dengan kesadaran penuh, rasa senang, serta berorientasi pada nilai universal kemanusiaan.
Hal itulah yang membuat Marx mengkritik sistem Kapitalisme. Kritik Marx bardasarkan sistem Kapitalisme, berdasarkan atas pandangannya yang menyatakan bahwa di dalam sistem tersebut kerja bukan lagi dilihat sebagai sebuah aktifitas yang dikerjakan dengan nilai rasa, bukan untuk mengembangkan diri, melainkan berhenti pada orientasi pemenuhan kebutuhan. Marx juga pernah menyatakan, di dalam sistem Kapitalisme, para buruh menjual barang dagangan mereka (tenaga kerja) untuk kemudian dijual dengan seharga upah, dan upah itu sendiri baru dapat dinilai harganya, jika sudah ditukar dengan barang-barang lainnya. Misalnya, saya adalah lulusan Fakultas Psikologi, yang bekerja sebagai staff HRD, sebagai fresh graduate, saya digaji sebesar 2 juta rupiah, 2 juta tersebut baru bisa nilainya, jika saya sudah menggunakannya untuk membeli barang atau jasa. misalnya saya menggunakan gaji saya tersebut untuk membeli makanan dan minuman, ongkos bekerja, serta beberapa pakaian dan biaya kost. Maka 2 juta itu senilai dengan hal-hal yang sudah saya tukarkan. Lebih jauh lagi, Marx juga melanjutkan konsep-konsep kerja dalam sistem Kapitalis dengan keterasingan. Keterasingan menurut Marx dibagi menjadi dua, yaitu keterasingan manusia akan dirinya sendiri, serta keterasingan dari hasil pekerjaannya( manusia tidak lagi dapat mengenali dirinya dari hasil pekerjaan, karena pekerjaan dilakukan sesuai keinginan pemilik modal). Keterasingan itulah yang dapat membuat manusia kehilangan kesadarannya dalam bekerja.
Bekerja dengan Sadar
Kesadaran dalam hidup manusia, sangatlah penting terutama di dalam hal bekerja. Jika manusia tidak lagi menjalankan kerjanya di dalam kesadaran, maka apa beda manusia dengan robot yang bekerja secara mekanis? bukankah identitas manusia sebagai mahluk yang bekerja, menghasilkan dan menciptakan, seharusnya menjadi pembeda antara manusia dengan mahluk lain?. Sering kali, kita sebagai manusia yang bekerja, justru tertidur di dalam rutinitas kerja kita, tanpa kita sadari. misalnya seorang pekerja yang melakukan kerja dari pukul 9 pagi – 5 sore, selama lima hari dalam semingu. Mungkin ia terlihat sebagai pekerja yang aktif dengan mobilitas yang tinggi, tapi mungkin saja ia tidak lagi melakukan hal tersebut secara sadar, bekerja dipandang tidak lagi membutuhkan rasa, passion. Mengutip kepada larik puisi Kahlil Gibran di atas, manusia dapat dikatakan tidak lagi bekerja dengan cinta. Kerja tidak lagi dilihat sebagai kecintaan yang meberi bentuk kepada dirinya sendiri, tetapi sekadar rutinitas. Rutinitas itulah yang menurut Kahlil menimbulkan keengganan, lebih jauh lagi, Kahlil menyatakan bahwa yang bekerja dalam keengganan hanya pantas menjadi pengemis, yang meminta-minta kepada manusia yang bekerja dengan cintanya.
Ketidaksadaran dalam bekerja dapat membunuh pikiran-pikiran kritis manusia. Pikiran mereka akan terlalu rileks dalam rutinitas yang dilakukan sehingga tidak lagi,berada pada tegangan-tegangan pemikiran yang justru sebenarnya dapat menghasilkan ide-ide yang inovatif.
Hal ini pernah saya temukan di dalam diri saya,juga teman-teman mahasiswa lainnya pada semester-semester awal kami kuliah. Sebagai manusia yang melakukan kerja, kami hampir tertidur di dalam rutinitas perkuliahan. tidur nyenyak kami ini membunuh pikiran kritis kami, contoh konkretnya jika kami diminta untuk membuat tulisan bebas, dengan tema yang tidak ditentukan, kami akan kebingungan untuk memilih tema. Kenapa? Mungkin salah satunya karena rutinitas kami dari masa kecil di dalam dunia pendidikan yang selalu diberikan batasan-batasan kerja. Kami terbiasa disodorkan tema-tema yang harus kami terima, sehingga tidak terbiasa dengan pemberian tema yang bebas yang mengharuskan kami tersadar dari tidur kami dalam rutinitas di bidang akademis, kami juga terbiasa diberikan data-data yang aktual dan banyak, tanpa diberikan cukup waktu untuk mengolahnya. Tidak hanya itu, Kami pun mulai kesulitan untuk menjawab sebuah pertanyaan sederhana: ‘mengapa?’, karena pertanyaan tersebut memaksa kami untuk menggunakan pemikiran yang kritis dalam menjawab pertanyaan. Tidak hanya itu, bahkan di dalam pergaulan sehari-hari, jika terdapat seseorang yang sangat kritis, yang selalu mempertanyakan segala sesuatu, orang-orang itu dinilai terlalu berlebihan, padahal mereka justru adalah orang-orang yang penuh kesadaran yang tidak mau menerima sesuatu begitu saja. Orang-orang yang seperti itulah juga yang berfungsi sebagai agen perubahan, yang hidup dalam tegangan pikiran dan siap memberikan pemikiran-pemikiran yang baru.
Manusia yang bekerja dengan cinta, artinya manusia yang bekerja dengan segenap rasa yang ada pada dirinya. Manusia yang menempatkan kerja sebagai aktifitas yang ‘hidup’, manusia yang bekerja dengan segenap kesadaran yang ada, yang di dalamnya ia berkutat dengan tegangan-tegangan dari pemikiran kritisnya. Manusia yang berani menghasilkan, mengubah, mendekonstruksi, memperbaharui segala sesuatu yang ia perbuat. Tidak sekadar menjadikan kerja sebagai objek, bukan juga menjadikan kerja sebagai candu. Tetapi menjadikan kerja sebagai bagian dari hidupnya, sebagai cara menjadikan keberadaan dirinya.
Sudahkah kita bekerja dengan cinta, sudahkah kita melakukan proses mencipta dalam bekerja? Sudahkah kita mengaktualisasikan diri kita melalui pekerjaan kita? atau jangan-jangan kita sendiri sudah mati dalam aktifitas kerja?
Berhati-hatilah dalam bekerja, Pastikan diri kita terjaga, karena kerja tidak memiliki makna, dan bekerja hanya menghabiskan waktu saja, jika kita tidak menghidupinya.
“Bekerja dengan cinta
Bagai Sang Pencipta
Membentuk citra insaninya
Satukan dirimu seutuhnya...”
“Hey” (Kla Project)
.
[1] http://satrioarismunandar6.blogspot.com, diakses pada tanggal 22 Juni 2009
ps: tulisan dari masa lalu