Semua orang dalam sekolah itu sudah tidak terkontrol lagi. Sang anak dengan ibunya sudah tidak ada lagi di depan pintu gerbang. Langsung setelah ledakan, pintu gerbang terbuka, anak-anak berhamburan keluar, para guru mengambil motor mereka dan bergegas pulang. Kami pun segera masuk ke dalam mobil dan meluncur menjauh dari area pasar, entah kemana. Saat mobil melaju, dari balik jendela mobil aku melihat tiga orang anak perempuan berjalan bersama, berpelukan sambil menangis meraung-raung dan memamanggil-manggil ibu mereka. Satu per satu langkah yang mereka lalui untuk menuju rumah, dipenuhi air mata. Entah kapan berhenti. Mungkin saat mereka bertemu ibu mereka, mungkin saat semua teror di daerah ini berhenti, mungkin juga tidak akan pernah berhenti. Saat itu juga, di dalam mobil sambil memalingkan muka, aku menangis. Selain karena rasa takutku, tangisanku adalah karena mereka. Perasaan yang saat itu aku rasakan, sebagian adalah perasaan mereka juga. Rasa takut jika ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai atau harus meninggalkan orang-orang yang kami cintai. Bayangan akan orang-orang tercinta yang kutinggalkan di Jakarta seketika muncul dalam benakku. Pada hari ini, setiap langkah yang kami ambil rasanya bukan langkah yang hidup. Setiap langkah yang kami ambil rasanya bukan menjejak pada negeri kami sendiri, karena negeri ini menginginkan kami mati. Rasanya sedih sekali saat berada di sana dan menyaksikan seluruh anak menangis. Berat sekali menerima kenyataan bahwa anak-anak harus menghadapi peristiwa seperti ini. Rasanya sangat berbeda ketika kita hanya membaca berita di koran atau melihatnya di televisi. Mungkin karena raut penuh kesedihan dan rasa takut itu tidak pernah muncul di televisi. Tangisku berhenti saat mobil kami berhenti.
Aku tidak terlalu menyadari rumah siapa yang kami kunjungi. Tapi satu hal yang kuingat betul adalah seorang ibu yang menangis meraung-raung sambil memohon-mohon pada Ian untuk membantu mencari anaknya. Aku ingat betul perkataannya dalam bahasa daerah, “Kami sudah susah-susah mengungsi dari Poso ke sini supaya lebih aman, ternyata di sini kami akan mati juga”. Lalu ibu itu pergi sendiri mencari anaknya. Pada hari itu, di Tentena, semua telah hilang. Bukan saja nyawa, tapi juga kebahagiaan, ketenangan, harapan dan kehidupan. Aku hanya berdiri termenung melihat semua kejadian itu, tidak bisa berbicara apa-apa. Semua kebahagiaan dan rasa senang pada diriku pun juga telah hilang. Untuk beberapa saat, aku menjadi manusia yang sangat kosong.
[2]
Kenangan itu berhenti saat udara semakin dingin. Aku mencabut sprei dari ranjangku dan menjadikannya selimut. Sesaat aku sudah tertidur lagi lalu bangun paling terakhir dari semua teman-temanku. Tentu saja aku terbangun diiringi berbagai ejekan karena mabuk, mengambil ranjang orang dan bangun paling terakhir. Hari ini jadwal FGD kami sudah tidak bisa terlaksana karena seluruh sekolah di Tentena sedang libur. Kami memutuskan hari ini akan menjadi hari wisata kami. Aku senang dan antusias sekali, mengingat selama berkali-kali datang ke Poso atau Tentena, kami tidak pernah punya waktu untuk berjalan-jalan dan melihat objek wisata yang ada di tempat tersebut. Air terjun – atau air luncur dalam bahasa setempat -- menjadi salah satu tempat sasaran kami. Sekitar pukul dua siang, kami pun meluncur ke air terjun tersebut dengan ditemani Budi, salah satu teman dari Crisis Centre. Teman ini sangat lucu dan mengasyikkan, selalu membuat kami tertawa. Perjalanan dengan dia pun terasa sangat menyenangkan. Air terjun tersebut bernama Saluopa, tidak terlalu jauh dari desa Tonusu. Dulu, sebelum kerusuhan, banyak rombongan dari Poso yang naik ke Tentena hanya untuk berwisata ke air terjun ini. Kini, empat tahun setelah kerusuhan terakhir, air terjun Saluopa tetap saja sepi. Jalur air terjun ini juga merupakan jalur yang sering dilalui oleh para pencinta alam untuk naik gunung. Pintu masuk ke areal air terjun dijaga oleh seorang pria tinggi besar dan bertato. Kupikir dengan ‘bentuk’ yang seperti itu, tidak akan mungkin ada seseorang yang lolos dari kewajiban membayar tiket masuk.
Setelah membayar beberapa ribu, kami melewati jembatan kecil dan sesaat kemudian kami sudah berjalan di antara pepohonan hutan. Indah sekali. Berbagai suara binantang serta keharuman hutan membuatku semakin antusias untuk bereksplorasi. Suara air terjun sudah terdengar sejak pertama kali kami memasuki hutan. Menurut penuturan kawan kami, air terjun ini bertingkat-tingkat, tidak seperti air terjun yang pernah kusinggahi dalam perjalanan menuju gunung Gede. Setelah melewati jalan menanjak, tangga dan bebatuan yang tidak terlalu menyusahkan, kami pun sampai ke air terjun pada tingkat pertama. Cantik sekali. Airnya sangat jernih, dengan batu-batu besar di dalamnya. Saat menginjak batu tersebut, airnya terasa sangat dingin, namun anehnya… batu itu tidak licin. Dengan mudahnya aku melompat dari satu batu ke batu lainnya, bermain-main dengan air sambil bergaya untuk difoto. Setelah puas dengan tingkat pertama, kami menanjak lagi menuju air terjun di tingkat berikutnya dalam kondisi basah kuyup. Pada tingkat ini sudah tidak ada jalan lagi untuk menuju pada bagian air terjun paling atas. Tapi kondisi di sini lebih cantik lagi. Aku bisa melihat bebatuan yang ada di dalam air. Jika melihat lebih jauh lagi, warna air bukan kehijauan, tapi biru. Mungkin karena kedalaman yang berbeda. Di atas sini aku melihat pelangi pendek, dalam kondisi kedinginan karena angin yang bertiup pun sangat kencang. Percikan air mengenai wajahku, membuat mataku sakit. Cukup lama kami berada di atas sana, bermain air, berjalan ke sana kemari, berfoto sambil merasa kedinginan. Aku menikmati setiap menit di atas sana, dalam rasa yang sangat menyenangkan. Perasaan yang membuat kita merasa sangat bersyukur dengan kehidupan. Setelah merasa cukup puas, kami pun kembali ke bawah. Dalam perjalanan ke bawah, karena licin dan tangga-tangga yang terjal, ada beberapa teman yang terpeleset dan jatuh. Posisi jatuh mereka agak mengkhawatirkan, tapi untungnya tidak ada hal serius yang terjadi.
Petualangan itu cukup mengobati kerinduanku untuk naik gunung dan memasuki hutan. Aku senang sekali. Perjalanan kali ini cukup mengurangi rasa khawatir kami terhadap keadaan di sini berkaitan dengan eksekusi Tibo. Dalam perjalanan pulang, aku kembali teringat akan kenangan yang muncul pada subuh tadi. Rasanya aneh juga, satu tempat yang sama bisa memberikan kenangan yang begitu buruk sekaligus begitu menyenangkan. Meski sekarang kami sudah bisa tertawa lagi, tapi setiap kali kami melewati pasar atau SMP Kristen 2, rasanya ingin cepat-cepat melaju. Kenangan akan bom Tentena selalu menghantui kami. Aku hampir yakin, masyarakat di sini juga merasa demikian. Mungkin setiap pagi akan dibuka dengan pertanyaan: peristiwa mengerikan apa lagi yang akan terjadi di hari ini? Siapa yang akan mati? Lalu berharap orang-orang yang mereka cintai tidak mati hari ini. Mungkin besok, lusa, tahun depan, dua tahun lagi, yang pasti jangan hari ini. Anak-anak mungkin terus hidup dalam kesedihan dan rasa takut. Belajar hanyalah rutinitas yang harus dilalui, bermain hanyalah kegiatan untuk mengisi waktu luang, memancing hanyalah untuk mencari uang. Kehidupan anak-anak sudah kehilangan ‘jiwa kekanak-kanakan’-nya. Kehidupan di sini tidak akan pernah kembali seperti semula. Pada tempat yang begitu indah dan menyenangkan ini, kehidupan manusia dibuat carut marut. Seperti sebuah wanita berparas cantik yang menyimpan banyak luka di dalam dirinya. Selamat datang di Tentena: di balik keindahan yang ditunjukkannya, ada beribu luka dan kepedihan yang tersimpan.
Grace Leksana
Tulisan ini juga dimuat di www.sekitarkita.com
No comments:
Post a Comment