Hari masih gelap waktu aku beranjak meninggalkan pelataran rumah. Warung-warung makan terang-benderang menyambut pengunjung yang datang untuk mengawali puasa mereka. Sedangkan aku, rasanya sudah sejak dini hari inilah jam kerjaku dimulai.
Bukannya memejamkan mata lagi sepanjang perjalanan, aku malah sibuk merias wajah. Yaahh.. mengingat bahwa setibanya di tempat tujuan nanti pasti tidak ada waktu untuk berdandan, satu-satunya yang kupunya ya waktu di perjalanan di kursi belakang taksi ini. Walaupun kemudian aku merasa sangat bodoh karena melakukannya. Toh tidak terlihat apa-apa dari cermin. Pantulan wajahku pun tidak. Langit benar-benar terlalu gelap. Jalanan masih sepi.
Tapi rupanya bandara sama sekali tidak demikian.
Waktu masih menunjukkan jam lima pagi, tetapi antriannya.. bahkan sudah melewati pintu yang membatasi ruangan. Belum lagi saat check-in, yang antriannya sudah mengular entah berapa orang.
Dan aku merasa beruntung kali ini mengenakan sepatu berhak rendah. Setidaknya, masih bisa membuat betisku bertahan lebih lama.
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk menunggu hingga akhirnya nomor penerbanganku diumumkan melalui pengeras suara. Sudah saatnya naik ke pesawat.
Tepat sejak aku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya, di situlah pekerjaanku dimulai untuk hari ini.
Sampai seterusnya, tiba di kota tujuan, pergi ke kantor klien, melakukan apa yang sudah menjadi tugasku, bertemu dengan mereka-mereka dari instansi yang harus ditemui, dan ini dan itu.
Baru sore inilah akhirnya aku terbebas dari semuanya.
Kembali ke kamar hotel, meletakkan barang-barang bawaan. Mengganti sepatu hitam berujung runcing dengan sandal tipis bercetak logo dan nama hotel. Menukar blus dan blazer dengan kaos putih, juga celana panjang hitam ketat dengan celana panjang hijau pupus yang biasa kukenakan untuk bersantai.
Kubuka lebar-lebar gordijn yang menutup jendela, sehingga tampaklah pemandangan kolam renang dari atas sini.
Lalu entah kenapa, aku teringat padamu.
Bahkan menatap ranjang besar di tengah kamar ini juga, mengingatkanku padamu. Pada kita.
Pada hari-hari itu.
Pada kebohongan-kebohongan kecil kita.
Aku beralasan pada si bos bahwa aku tidak terbiasa tidur sekamar berdua, dan kau beralasan pada anak-anak buahmu bahwa kau sedang ada janji dengan seorang klien lain. Aku beralasan sedang diet dan menghindari makan malam, lalu kau beralasan sedang ingin menjelajahi kota sendirian.
Atau entah bagaimana caramu, seperti sebuah kebetulan yang berulang, kita selalu bisa bertemu di kota yang sama.
Lalu dilanjutkan di kamar yang sama.
Kamarku, kadang-kadang kamarmu.
Menghabiskan sepanjang malam berdua, sama-sama menahan diri untuk tidak membuat kegaduhan, berusaha keras untuk tidur tapi ternyata ada hal lain yang tidak bisa tertahankan godaannya untuk dilakukan, membuat ranjang dan seisi kamar berantakan dengan helai pakaian yang bertebaran entah ke mana, sampai akhirnya tersadar bahwa pagi sudah menjelang dan kita harus kembali ke kamar masing-masing.
Berpura-pura tidak ada apa-apa.
Berpura-pura tidak saling mengenal.
Pulang sendiri-sendiri ke kota asal, dan berharap akan ada pertemuan serupa berikutnya.
Seperti yang saat ini sedang kulakukan.
Berharap kau tiba-tiba akan menelepon untuk memberitahukan kau sudah ada di lobby. Seperti biasanya.
Just in case I fall asleep and not telling you yet, I'm in the room 1005.
No comments:
Post a Comment