Selamat datang di Tentena!
31 Maret 2006
[1]
Selamat datang di Tentena! Kota sejauh 62 km dari Poso ini jauh berbeda dengan Poso. Kedua kota ini memiliki keindahan yang berbeda. Di Tentena pun, aku menikmati keindahannya. Dingin, dikelilingi pegunungan dan danau, tidak seperti Poso yang dikelilingi oleh pantai dan terasa betul teriknya matahari. Namun satu hal yang paling penting… Tentena adalah surga alkohol. Tidak seperti Poso, dimana perda melarang penjualan alkohol dalam bentuk apa pun (kecuali di warung-warung yang dijaga brimob), di Tentena warung paling kecil pun pasti menjual alkohol. Bir bintang, anggur cina, saguer, cap tikus dan teman-temannya. Surga alkohol ini pula yang membuatku tidur lebih cepat semalam. Bukan lebih cepat sih, hanya saja mengobrol dalam keadaan mabuk dalam kamar para pria, tertidur di saat mereka masih mengobrol, dan secara tidak langsung memaksa seorang pria untuk pindah dan tidur di kamar wanita. Di antara yang lain, aku tidur paling awal dan bangun paling telat keesokan paginya. Ini pula yang menyebabkan aku tidak sanggup lagi menulis jurnal semalam.
Subuh pagi tadi aku terbangun karena kedinginan. Selimut yang sudah kusiapkan di kamarku menjadi sia-sia karena aku sudah terkapar di kamar pria, hanya dibekali sarung tipis. Aku sulit untuk terlelap lagi karena dua sebab. Pertama, udara dingin menyebabkan hidungku tersumbat. Sebab yang kedua adalah kenangan akan bom Tentena saat kedatangan terakhir kami di sini. Pengalaman menakjubkan sekaligus menyakitkan itu masih segar dalam ingatanku. Tidak ada yang mengira akan terjadi hal mengerikan seperti itu. Pagi itu kami semua bangun masih dengan perasaan sedikit mengantuk, berpikir bahwa kami akan mengulangi prosedur FGD yang sama untuk ke sekian puluh kalinya. Ada pula perasaan senang karena akan bertemu anak-anak SMP di Tentena yang tentu saja memiliki karakteristik berbeda dengan Poso. Entah apa lagi komentar, hal-hal lucu atau gaya ABG mengejutkan lainnya yang akan kami temui di sekolah itu. SMPN Kristen 2 Pamona Utara adalah sekolah yang kami tuju. Jaraknya hanya beberapa menit saja dari penginapan kami. Kami tiba beberapa saat sebelum waktu FGD yang telah disepakati dengan pihak sekolah. Tidak ada lapangan bersemen di sekolah itu, hanya lapangan rumput dengan tiang bendera di tengahnya. Ruang kelas, ruang guru, perpustakaan dan laboratorium tersusun seperti huruf U, mengelilingi lapangan rumput tersebut. Para murid sudah memasuki jam pelajaran saat kami tiba. Hanya beberapa anak saja yang masih tampak berkeliaran di depan kelas. Setelah bertemu dengan salah satu guru penanggung jawab, kami diberi tahu bahwa ada dua ruangan yang akan dipakai untuk FGD. Kelas untuk FGD kelompok anak perempuan adalah laboratorium Biologi. Beberapa anak perempuan sudah duduk manis melingkar di sekeliling meja laboratorium saat aku dan Harla masuk ke dalam ruang tersebut. Gambar alat pencernaan katak, meja ubin berwarna putih, wastafel serta beberapa peralatan Biologi terlihat dalam ruangan itu. Harla sedang menyiapkan peralatan yang akan kami gunakan untuk FGD, begitu pula denganku. Saat sedang melakukan hal itu, aku baru sadar bahwa ada peralatan lain yang tertinggal di mobil kami. Setelah memberitahu Harla bahwa aku akan mengambil peralatan tersebut, aku langsung berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Aku masih sedikit mengantuk sambil celingak celinguk melihat tingkah polah anak-anak SMP ketika berjalan di lorong itu. Hal yang ada di dalam pikiranku saat itu adalah kenanganku sewaktu duduk di bangku SMP. Aku sama ABG-nya seperti mereka: mengikuti mode terbaru, cinta monyet, gosip dengan sesama anak perempuan, menyontek PR, dll. Bersamaan dengan ingatan akan masa SMP-ku di langkah ke sekian, saat itu juga bom di samping sekolah meledak.
Bunyi memekakkan telinga, teriakan anak-anak, semua orang berhamburan menuju ke tengah lapangan sekolah. Selama sekian detik aku seperti orang mati. Tidak ada pikiran dalam otakku, hanya melongo dan merasa terkejut sekali. Aku bahkan belum sadar bahwa ledakan barusan adalah sebuah bom. Tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku malah berusaha masuk ke sebuah kelas untuk bersembunyi. Ketika aku berusaha masuk ke kelas itu, semua anak-anak yang ada di dalamnya berlarian keluar. Mereka semua mendorongku, sehingga masuk ke dalam kelas itu adalah hal yang tidak mungkin. Lagipula, itu adalah tindakan yang bodoh juga. Raut muka takut dan panik yang dipancarkan anak-anak yang berkumpul di lapangan telah menyadarkanku bahwa ledakan tadi berasal dari sebuah bom. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat anggota rombonganku yang lain; sedang berdiri di samping mobil sewaan kami, juga dalam keadaan melongo. Aku langsung teringat Harla yang kutinggalkan di laboratorium Biologi. Aku bergegas kembali ke ruangan itu, menemui dia dan melihat para anak perempuan yang semula duduk manis telah berhamburan keluar ruangan. Anak-anak perempuan itu hanya berdiri di depan kelas, berusaha melihat ke tengah lapangan. Ekspresi terkejut bercampur takut dapat kulihat jelas di wajah mereka. Mungkin ekspresiku saat itu juga demikian. Mereka bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin mereka juga takut dan ragu untuk berlari ke tengah lapangan. Selama beberapa saat, mereka hanya berdiri di depan kelas. Sesaat kemudian, seorang guru mengambil mikrofon dan menyuruh seluruh anak untuk berkumpul di tengah lapangan. Aku dan Harla langsung membereskan peralatan kami dan menuju anggota rombongan lain yang berada di tengah lapangan. Kami berjalan melalui lorong yang semula aku lalui. Aku melihat pecahan-pecahan kaca berhamburan di lorong itu. Jika saja aku berjalah lebih jauh sebelum bom meledak, beberapa pecahan kaca itu pasti akan mengenai tubuhku.
Kami langsung bergabung di tengah lapangan. Anak-anak, para guru dan semua anggota tim kami berdiri di sana. Para guru berusaha menenangkan anak murid mereka, sedangkan kami berusaha menenangkan diri kami masing-masing. Para guru berusaha menenangkan anak-anak dengan memberikan beberapa pengarahan dan melarang anak-anak untuk meninggalkan sekolah. Anak-anak harus tinggal di sekolah sampai orang tua mereka datang menjemput atau keadaan sudah cukup aman sehingga mereka bisa pulang sendiri. Ian, seorang teman kami dari Crisis Centre GKST telah berjaga di pintu gerbang agar tidak ada anak yang berusaha lari meninggalkan sekolah. Perhatianku tertuju kembali pada wajah-wajah tegang dan kebingungan yang ada di tengah lapangan. Beberapa anak laki-laki bercerita dengan seru kepada temannya. Dalam bahasa daerah mereka bercerita tentang apa yang sedang mereka lakukan saat bom meledak. Anehnya, cara mereka bercerita seperti menuturkan film action. Ledakan bom mereka peragakan dengan melompat, kekagetan mereka peragakan dengan memegang dada mereka. Semua itu mereka lakukan dengan tertawa kecil, meski tergambar rasa takut di wajah mereka. Sesaat kemudian perhatianku tertuju pada seorang anak perempuan, dengan wajah takut dan menangis, berkata pada temannya dalam bahasa daerah “Ibuku ada di pasar”. Ketika bom itu meledak, kami semua tahu bahwa bom itu berasal dari salah satu kios di pasar. Karena sekolah ini berdampingan dengan pasar, maka ledakan bom telah merusak beberapa bagian dari sekolah tersebut. Kaca jendela serta atap beberapa kelas yang terletak bersebelahan dengan kios-kios di pasar telah hancur. Masih menangis, anak perempuan itu berlari menuju pintu gerbang, lalu memeluk seorang perempuan dewasa yang menghampirinya di pintu gerbang. Kuduga itu adalah ibunya, yang ia khawatirkan. Dalam hati aku bersyukur juga karena sang anak dan ibu masih bisa bertemu. Ketika perhatianku terpaku pada anak perempuan dan ibunya itu, terdengar suara ledakan kedua.
No comments:
Post a Comment