Sep 16, 2010

Sepatu Untuk Paidin

Sepatu Untuk Paidin Fri Feb 15, 2008 9:11 am
Buat teman2ku semua terutama yang suka sama sendal jepit... hehehehe.
..

Paidin namanya pemuda hitam manis rambut klimis. Mahasiswa semester
tiga Universitas Gemintang Jagat Raya jurusan Psikologi. Biar dari
desa Paidin tak pernah kalah semangat dengan mahasiswa kota.
Pikirannya maju kedepan tak seperti orang dikampungnya. "Paidin buat
apa sekolah tinggi-tinggi nanti nyangkul juga disawah lebih baik kamu
nemani si mbokmu itu" kata tetangganya Suparlan sebelum Paidin pamitan
dengan si mboknya. Paidin tak mampu ekonominya berangkat ke kota
dengan beasiswa Gemintang Jagat Raya untuk murid teladan berprestasi.
Hanya satu pesan dari si mboknya yang bercampur-campur bahasa Jawa dan
Indonesia "Paidin koe iki wong ndeso ora usah neko-neko, sing manut
karo sing kuasa yang penting bener jalanmu. Kita ini bukan siapa-
siapa"

Paidin kekampus tiap hari jalan kaki pakai sendal jepit dengan buku
sebesar kamus di dalam tas yang ia kempit. Paidin rajin mengerjakan
tugas tak lalai sembahyang berdoa pada Yang Kuasa. Paidin tidak bodoh
hanya kadang lugas bicara tak suka bohong dalam bicara berkata apa
adanya. Paidin tak bodoh karena pendidikan penuh dilaluinya dari SD
sampai tamat SMA walau hanya dikecamatan kotanya. Paidin figure pemuda
sederhana, cerdas otaknya, mulia sikapnya namun tidak jumawa.
Pendek kata saat UAS Paidin sibuk dengan setumpuk paper tugasnya yang
takehome kata dosennya. Sibuk sekali dia rupanya hingga satu kali ia
terkejut membaca pengumuman di kampusnya dan lupa sejak kapan itu
pengumuman ada disana. Begini bunyinya "Seluruh mahasiswa/i
Universitas Gemintang Jagar Raya wajib tanpa terkecuali berpenampilan
rapi, bersih dan tentunya tidak memakai sandal jepit atawa yang sandal
swallow bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi secara tegas tanpa
basa-basi lagi" Paidin kalang kabut terkejut menganga mulutnya bingung
tak tahu harus berkata apa. Ia berlari ke toilet terdekat dan mulai
berkaca. Dilihatnya dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Rambut
klimis tersisir rapih. Kemeja tua peninggalan bapaknya biar pudar tapi
dicuci dan di strika. Celana bahan Pak De'nya belum pudar walau sudah
dimakan jaman. Pandangannya berhenti dikaki dilihatnya jempol dan
telunjuk kaiknya mencepit sepasang sendal yang baru di beli di warung
depan kosnya

Paidin bukan tak suka pakai sepatu. Ia suka kakinya bernapas lega
menikmati udara. Tak pernah repot membersihkannya. Tak suka mengekang
kakinya. Lagipula Gemintang Jagat Raya universitas ternama yang bebas
demokrasinya terkenal di seantero negeri. Yang penting otak mahasiswa/
inya yang cerdas dan terpercaya kualitas lulusannya siap bekerja
membangun negeri tercinta. Tak pandang bulu mau miskin atau kaya. Mau
tua atau muda. Mau wajah cantik dan guanteng atau dibawah rata-rata.
Disini tempatnya buat kita-kita. Dalam hati Paidin berkata menirukan
iklan di media masa. Apa semuanya berubah?!

Paidin mulai berpikir menurut ilmu Psikologi yang ia pelajari.
Apakah ini masalah Persepsi kalo sendal jepit = kurang akademis atau
tidak mencerminkan inteletual. Kembali ia teringat profesor-profesor
ternama luar negeri tidak ada yang memakai sendal jepit kala bicara
tentang tesisnya. Bahkan Freud pun tak memakai sendal jepit ketika
memberikan penjelasan teorinya apalagi Anne Anastasi dan Susana
Urbina. Kembali ia berpikir apakah ada penelitian yang mengukur
hubungan antara nilai akademis atau tingkat intelegensi seorang
mahasiswa/i dengan jenis alas kaki yang digunakannya. Merenung dalam
diam Paidin. Namun teringat dirinya akan kata si mboknya tercinta.
Tidak usah aneh-aneh, menurut saja sama yang kuasa kita bukan siapa-
siapa yang penting yag kita jalani benar. Paidin berhenti berpikir.
Dari pada nanti dicabut beasiswanya lebih baik manut.

Berlarilah Paidin ke papan pengumuman mencari-cari tanggal
berlakukanya itu peraturan yang lupa dibaca karena saking paniknya.
Tertera besok mulai berlakunya, tak kuasa paniknya kembali meraja.
Paidin teringat di sebelah kampusnya terdapat bangunan pusat
perbelanjaan ternama yang semua pasti ada. Kemudian berlarilah ia
kesana. Tak peduli sama sang mentari di ujung kepala yang minta ampun
panasnya. Melangkalah dia ke lantai 2 tempat pakaian pria berada di
lewati lorong-lorong pusat perbelanjaan mencari sepatu untuknya nomor
45 ukurannya. Dilihatnya rupa-rupa bentuk sepatu ternyata berbeda
dengan yang ada di desanya bahkan di kecamatannya. Mulai dari sepatu
olahraga, santai sampai sepatu resmi yang di pakai Pak Lurah di
desanya. Paidin mengambil satu sepatu sekiranya cocok untuknya
diliriknya label harganya sembilan puluh delapan ribu rupiah.
Dirogohnya kantong kemeja dan celananya dikelurakannya lembaran yang
ada lalu dihitungnya satu persatu tak peduli ada pramuniaga yang
melirik ke arahnya. Duapuluh ribu tujuh ratus rupiah jumlahnya.
Terdiam Paidin mulai mencari sepatu lain kali ini bukan modelnya yang
dicari tapi langsung harganya.

Paidin kembali kekampusnya menghampiri sebuah meja dikantin, terduduk
lesu tidak bicara. Kembali di rogohnya kantung celana dan kemeja
dengan tangannya mengeluarkan seluruh isinya menghitung berapa duitnya
seakan tidak percaya. Duapuluh ribu tujuh ratus rupiah jumlahnya. Tak
disangka ada Bahrul kawannya.

"Kenapa Paidin bingung betul wajahnya? Habis ngamen di buskota
rupanya" Setengah bercanda melihat kearah uang yang berada diatas
meja. Setengah kaget Paidin menoleh dan berkata "Mahal benar sepatu di
Jakarta. Pantas Pak Lurah di desaku begitu bangga memakai sepatu
bersemir setiap hari." "Hahahahaha......" Tertawa Bahrul terpingkal-
pingkal dibuatnya. "Tak punya sepatu kau rupanya. Mau aku pinjamkan.
Tapi tak tahu apa pas ukuranku dikaki panjangmu itu" Pandangan Paidin
beralih kebawah. Dilihatnya telapak kakinya yang cukup panjang. Akibat
banyak berjalan mungkin pikirnya. "Kalau kau mau cari murah di Pasar
Rumput atau di Taman Puring (tampur) tempatnya" Saran Bahrul kemudian
Singkat kata setelah dijelaskan panjang lebar dimana letak Pasar
Rumput dan Tampur serta diberikankan tehnik menawar dagangan yang
baik, pergilah Paidin kesana. Dengan berbekal uang tambahan dari
celengan ayam di kos'annya Paidin naik buskota sorehari yang padat
sekali penumpangnya. Ke Tampur pertamakali ia mencoba mencari.
Sesampainya disana mulailah ia mencari sepatu murah seperti kata
Bahrul temannya.

Dilihatnya model dan merek sepatu yang sama dengan yang dipusat
perbelanjaanya, pasti mahal harganya dalam benak Paidin. Merasa
percaya dengan Bahrul temanya ditanyalah berapa harga sepatu yang
disukainya. Wah separuh harga rupanya, empat puluh sembilan ribu
rupiah. Kembali dirogoh kantung celananya dihitungnya kembali uangnya
limapuluh ribu rupiah jumlahnya. Dengan tehnik tawar menawar yang
diajarkan Bahrul dicobanya menurunkan harga. Tawar menawar berjalan
alot hingga akhirnya hanya turun empat ribu harganya. Karena sudah
mulai larut malam lapak tukang sepatu harus tutup tampaknya hingga
paidin terpaksa menyetujui harga empat puluh lima ribu rupiah. Tak
terbayang daripada kena sanksi lebih baik membeli walau harganya sama
dengan uang makannya dua hari. Jam 11.00 saat ia sampai di kostnya
dengan senyum mengembang dilihat-lihatnya sepatu barunya 45 ukuranya
pas untuk kakinya. Enak juga rasanya setelah ia coba, pakai sepatu tak
ada ruginya.

Pagi-pagi Paidin sedang bangug sembahyang sujud berterimakasih pada Yang
Kuasa karena ada sepatu yang tak akan membuatnya kena sanksi.
Melenggang dirinya kekampus hendak mencari bahan paper di perpustakaan
kampusnya. Pagi-pagi ia bersiul dikantin sesekali melirik ke sepatu
barunya. "Wah sudah dapat nih sepatu barunya?" kata bahrul yang datang
tiba-tiba membuyarkan lamunan Paidin. Paidin hanya senyum-senyum tak
menjawab pertanyaan Bahrul. "Sudah siap pula kau dengan ujian kita
siang ini". Ujian. Bingung Paidin dibuatnya. Apa Bahrul mencoba
menggodanya. "Hei Paidin kau tidak lupakan ujian hari ini, kitakan
satu kelas." kata bahrul mencoba meyakinkan bahwa dirinya tidak
bercanda. Terkaget-kagetlah Paidin, hampir jatuh dia dari bangku
kantin. Tak terpikir kata ujian hari ini yang ia ingat hari ini hanya
mencari bahan untuk papernya. Tanpa pikir panjang Paidin berkata pada
Bahrul "Waduh gara sepatu aku lupa ujian. Aku pinjam diktatmu tak
sempat kalau pulang dahulu" Maka berlarilah Paidin ketempat fotocopy
terdekat dengan bahan pinjaman dari Bahrul.

Setelah selesai ia kembali ke kantin mengembalikan bahan dan kemudian
mencari tempat sepi di kampusnya untuk mulai membaca diktat dari
dosennya itu. Mencoba konsentrasi dan mencoba mengingat-ingat kembali
apa yang pernah dikatakan oleh sang dosen dikelasnya. Kriuk . . .
kriuk. . . tiba-tiba suara perut Paidin berseru minta diisi. Belum
makan tampaknya Paidin dari kemarin siang. Tak peduli kebutuhan
mendasarnya itu Paidin mulai belajar kembali.

Jam 12.15 Paidin melangkah dengan percaya diri duduk manis dibangku
ruangan ujian. Dilihat teman-temanya banyak yang masih sibuk membaca
diktat atau melakukan tanya jawab dengan temannya yang lain, tak
sedikit yang panik menghadapi ujian. Tak terpengaruh Paidin tetap
percaya diri merasa memorinya masih kuat menyimpat apa saja bagian yang
penting dari matakuliah ini. Tak lama kemudian pengawas ujian masuk
kedalam ruangan bunyi hak sepatunya memecah kebisingan kelas. Dengan
suara lantang sang pengawas berkata "Sesuai dengan peraturan baru yang
berlaku di universitas Gemintang Jagat Raya, bagi yang memakai sandal
jepit dan sejenisnya dimohon dengan hormat untuk meninggalkan ruangan
ujian" Paidin hanya tersenyum dalam hati sambil memandang sepatu
barunya. Pakai sepatu tak kena sanksi.

Kertas ujian dibagikan. Paidin kemudian menuliskan identitasnya
kemudian membaca soal yang dierikan. Tiba-tiba sang perut kembali
berteriak kriuk . . . kriuk . . . Teman sebelah bangku Paidin melirik
namun Paidin tetap melanjutkan membca. Tiba-tiba pandangannya kabur
tulisan Times New Roman ukuran 12 disoal ujian tak terbaca olehnya.
Dikucek-kucek matanya seakan-akan ada yang tak beres dengan bola
matanya. Tetap tak bisa membaca dengan jelas tulisan yang ada.
Keningnya tiba-tiba mengeluarkan keringat dingin. Badannya mulai
limbung, lemas tak mampu bersandar di kursi dengan baik. Raut wajahnya
menyiratkan kecemasan. Tangannya mulai gemetar.Terbayang dia akan isi
pengumuman yang dilihatnya kemarin. Bahrul yang tertawa tawa. Sepatu
barunya. Pramuniaga yang melriknya di pusat perbelanjaan. Celengann
ayamnya yang pecah. Uangnya yang tinggal lima ribu. Terbayang dirinya
belum makan sejak kemarin siang . Kelaparan. Dduuuubraakkk . . .
Paidin jatuh bersama kursi tempat ia duduk memecah keheningan ujian.
Wangi harum parfum mahal dengan lambang dua huruf K Paidin rasakan.
Matanya mulai membuka, dilihatnya pengawas ujian didepannya sambil
memegang botol parfum dan teman satu kelasnya mengerubungi dirinya bak
segerombolan semut menemukan gula. Mereka bertanya-tanya ada apa
dengan Paidin. Paidin bingung dan menjawab sekenanya "Saya belum makan
dari kemarin". Tiba-tiba menyeruk Bahrul dari belakang menimpali
perkataan Paidin "Hahahaha . . . Lebih baik pakai sepatu kau daripada
makan . . . Kasihan Maslow teori segitiganya tak terpakai lagi"

1 comment:

timo said...

gue jadi inget, pas gue baca pengumuman larangan sendal jepit di kampus Gemintang Jagat Jaya (ups ;p). malem2 langsung gue bela2in ke mal buat cari sepatu sendal (masih ga rela, jempol dan jari kaki lainnya terkekang kebebasannya). harga mahal semua akhirnya ga jadi beli dan pake sepatu sendal buluk yang nongkrong di sudut paling dalam di rak sepatu keluarga ;p

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...