Sep 13, 2010

balada sang tikus

Aku berdiri statis di atas sebuah panggung yang gelap gulita.
Sepuluh menit sebelum pertunjukkan berlangsung.
Yap.
Sebuah tuntutan peran.
Mau apa lagi?

Keringat dingin mulai membasahi lingkar wajahku tatkala mendengar suara 'grasak-grusuk' penonton yang berusaha memadati ruangan.
Aku mendengar lampu sorot yang berbisik bahwa ia tidak akan menyinari pertunjukkan hari ini semaksimal mungkin.
Aku mendengar properti panggung yang bergumam bahwa warna tubuh mereka luntur karena keringat dingin.
Aku juga mendengar kostum yang kukenakan berucap polos bahwa ia enggan membuat diriku nampak bersinar malam ini.

Di tengah kesibukanku mendengarkan ucapan mereka, aku merasa lampu sorot mulai menyala redup.

Mendadak tirai terbuka.

Oh!

Saatnya aku bergerak lincah dan menampilkan akting ku yang sempurna.

Tapi apa ini?

Mengapa lampu sorot seakan enggan menyinari aku?
Sinarnya lebih banyak menerangi si tokoh utama yang melompat kesana kemari dengan cepat.
Aku menoleh kebingungan.
Properti di sekitarku nampak pucat dan..
Ah. Warnanya..

Tidak mungkin! Aku melihat warnanya luntur.

Aku tetap berjuang sendiri dengan aktingku yang telah kulatih selama ini.
Aku menatap sekilas ke arah penonton.
Berharap mata mereka tertuju padaku dan memberiku semangat lebih daripada panggung ini.
Namun apa daya, semua mata penonton tertuju pada sang tokoh utama!

Oh. Betapa kecewanya aku! Bahkan kostum sang tokoh utama jauh lebih indah daripada kostumku yang berwarna abu-abu pucat ini.
Tentu saja penonton tidak akan menatap aku!
Memangnya siapa aku?

Hanya seekor tikus panggung yang bahkan tidak dihargai oleh panggungnya sendiri.

Aku teringat ketika aku mengikuti audisi untuk menjadi sang tokoh utama.
Dengan mudahnya, sutradara yang berkumis, botak, dan selalu mengenakan topi baret itu memintaku untuk menjadi si tikus peliharaan sang tokoh utama.
Sebenarnya aku tidak mau.
Kecintaanku pada dunia akting lah yang membuatku tetap bertahan.

Sang tokoh utama melakukan kesalahan!
Oh! Ini saat yang tepat bagiku untuk menutupi kesalahan itu dan dilihat oleh penonton!
Aku yakin panggung ini juga akan bangga dengan apa yang kulakukan!

Tepuk tangan penonton!
Wah! Mereka menyukai improvisasiku!

Akhirnya aku mengakhiri cerita drama malam ini dengan cukup membanggakan *menurutku*.
Bagaimana tidak?
Aku sudah berlatih setiap hari sejak delapan bulan yang lalu.
Kecintaanku pada dunia akting lah yang membuatku tetap bertahan.

Tirai menutup. Penonton keluar dari dalam studio.
Sang tokoh utama mendatangi aku, "Ini semua karna kamu! Kamu yang membuat aku nampak bodoh di depan semua orang!"

Aku berlari ke belakang panggung.
Menangis tersedu-sedu.

Aku gagal.

..di luar ruangan pertunjukkan

Sejumlah kritikus teater tengah berdiskusi..

"Akting sang tokoh utama luar biasa menakjubkan! Tapi tanpa si tikus, pertunjukkan ini akan hambar! Si tikus sangat hebat dalam memberikan humor-humor segar!"

"Ya. Aku setuju. Kostum yang ia gunakan pun sesuai dengan perannya. Aku malah tidak terlalu menyukai kostum si tokoh utama."

"Tapi aku sangat menyayangkan. Mengapa si tikus harus bertingkah konyol pada adegan terakhir? Seharusnya itu dialog yang diucapkan oleh tokoh utama!"

"Ya. Aku pun heran. Sayang sekali ya. Rasanya lampu sorot selalu menyoroti tingkah polah humoris si tikus. Tapi adegan terakhir itu sangat merusak keindahan akting si tikus."

"Ya. Betul sekali. Oh ya, menurutmu cat apa yang mereka gunakan untuk mengecat properti mereka? Sungguh indah dan pekat warnanya."

"Aku tidak tahu. Tapi aku setuju denganmu, bung! Lampu sorot yang mereka pilih pun sesuai. Ah, kembali pada akting para tokoh. Aku sangat menyukai tokoh si tikus. Menurutku karakternya paling sesuai dengan tokoh yang ia lakoni."

"Ya, aku setuju. Bahkan kudengar ia berlatih selama delapan bulan. Bagaimana mungkin penampilannya tidak menakjubkan?"

"Ya, aku juga setuju."

"Tentu saja aku setuju padamu, bung!"

"Sepertinya si tikus layak mendapat penghargaan."

"Oh. Belum tentu, bung! Adegan terakhir perlu diingat juga, bung!"

"Saya melihat proses latihannya juga, bung! Saya rasa ia layak."

"Baiklah. Kita tanya saja pendapat penonton lain."

Diskusi diselenggarakan.
75% penonton setuju menobatkan si tikus sebagai pemain figuran terbaik.

lima menit kemudian..

Seluruh petugas keamanan berlari ke belakang panggung.
Seluruh isi gedung pertunjukkan dievakuasi.
Polisi berdatangan.

Si tikus meninggal karena menenggak sebotol sianida.


sebuah ironi mengenai konsep self-fulfilling prophecy. terinspirasi dari status mukabuku salah seorang sahabat.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...