(saya dan papa, di sebuah toko buku impor berpendingin udara di Jakarta)
"Wiiih, The Grand Design-nya Stephen Hawking udah keluar, pa! Beliin, ya." kataku seraya mengangkat sebuah buku hardcover tebal ke arah papa. Beliau mengangguk tanpa melihat ke arahku, sibuk memperhatikan rak-rak tinggi berjejalan ratusan bahkan ribuan buku di hadapannya.
Setelah selesai mengambil judul yang dimau, kami berjalan ke arah kasir, menaruh tiga judul buku di meja transaksi, membayar totalnya, lalu bergegas keluar. Papa berkata,
"Pernah terpikir nggak, nak, kalau kita hampir tiap minggu ke sini, berbelanja buku, yang kalau ditotal-total mungkin kita bisa menyekolahkan banyak orang yang tidak pernah kenal buku dan pendidikan..."
Saya terdiam. Bukan karena tidak punya jawaban, bukan karena apa yang dikatakan papa tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Tidak. Saya sering memikirkan itu. Aksesibilitas untuk literatur dan buku di Indonesia masih rendah. Sangat rendah. Beruntunglah saya, papa, keluarga kami dan jutaan keluarga lain yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar. karena faktanya, di kota ini kita masih punya banyak toko buku, ada perpustakaan di sekolah dan kampus kita, ada akses internet di rumah dan tempat umum, kita dengan mudah belanja e-books di Amazon, membaca gratis di Google Books atau mendownload artikel dan publikasi lain. Lucunya, dengan segudang fasilitas ini -- yang walaupun memang masih jauh dari bagus dan sempurna -- kita masih sering mengeluh tentang kesulitan akses literatur. Dan lucunya lagi kita masih memiliki minat baca rendah.
Saya sendiri tidak tahu pasti tentang kondisi faktualnya, tapi saya duga kondisi di daerah pasti lebih buruk dari di sini. Memang statistik Human Development Index terbitan UNDP tahun lalu1 menyebutkan literacy rate negeri ini sangat tinggi, lebih dari 96% penduduknya bisa membaca. Tapi yang jadi pertanyaan mungkin bukan kemampuan membaca, yang jauh lebih penting dari itu adalah pertanyaan, dari 96% rakyat Indonesia itu siapa yang kenal buku, terekspos dengan literatur, punya akses kesitu dan memiliki minat membacanya? Ini misteri yang musti harus dijawab bersama. Punya kemampuan membaca bukan hal yang spesial dan patut dirayakan, yang lebih dari itu adalah kemauan untuk membaca.
Saya dan papa kebetulan memang sama-sama kutu buku yang senang menggerogoti halaman demi halaman teks, kami berdua concern dengan masalah ini, dan sering menghadiri (atau tidak sengaja bertemu di berbagai) seminar, diskusi dan forum yang berkaitan dengan buku dan minat baca di Indonesia. Dari apa yang sering terlontar di diskusi dan seminar-seminar itu: banyak hal yang sering dijadikan kambing hitam dari rendahnya minat baca kita, mulai dari daya beli masyarakat, larangan buku oleh pemerintah, tingkat edukasi, kehadiran TV dan internet yang menyebabkan kita malas membaca dan lainnya semua pernah dibahas. Tapi apa iya semua itu faktor signifikan dalam menentukan minat baca masyarakat kita? Mungkin juga tidak.
(saya dan papa berbelok ke arah eskalator, turun satu lantai, sambil tetap melanjutkan obrolan)
Mari sedikit berbodoh ria, saya pernah melakukan penelitian semi-ilmiah tentang minat baca (sampel: teman-teman dan orang di dalam social circle saya), dari apa yang saya dapat: pertama, faktor daya beli tidak berpengaruh terhadap minat baca. Teman-teman saya banyak yang tidak ragu untuk membayar makan siang puluhan atau ratusan ribu, namun berpusing-pusing memikirkan untuk membeli buku seharga 35 ribu di toko buku. Kedua, tingkat edukasi juga tidak berpengaruh: teman-teman saya yang seumuran, hampir semuanya pernah atau sedang mengenyam pendidikan tingkat universitas. Teman-teman saya yang usianya lebih tua malah ada yang sedang mengambil S2 (atau sudah lulus), tapi apa mereka senang membaca? Kecuali untuk kebutuhan akademik dan kewajiban tugas, mereka jarang membaca di waktu luang. Ketiga, kehadiran TV dan internet: ini mungkin satu faktor yang, di satu sisi, bisa sangat mendukung aksesibilitas ke buku dan meningkatkan minat baca, namun di sisi lain bisa mematikannya. Saya mengamati teman-teman saya lebih senang menghabiskan waktu di depan TV dan internet untuk menonton video, bermain FB dan Twitter ataupun sibuk dengan mengalahkan boss terakhir di game, sedikit sekali yang dengan suka rela membuka laptop, Mac atau PC-nya untuk membaca artikel yang bersebaran di internet.
Temuan lain yang agak menggelitik saya baca dari penelusuran di internet, bahwa ada banyak mitos mengenai aktivitas membaca di masyarakat kita, yakni 1) membaca hanya untuk orang yang punya waktu luang 2) membaca tidak lagi dibutuhkan saat ini, informasi kini bergerak di mana-mana 3) membaca masih diasosiasikan dengan tidak gaul, geek dan anti-sosial. Dengan stereotipe-stereotipe ini, mau tidak mau pembaca di Indonesia jadi semakin terpinggirkan ("kita ini kaum marjinal," kata salah satu dosen saya, yang -- ketika hal itu saya ceritakan ke papa -- diamini oleh beliau.) Bukan memposisikan diri saya sebagai expert, toh saya bukan mahasiswa teladan dan pintar, tapi menurut saya mungkin minat baca tidak harus dipersepsikan dalam kontinuum tinggi-rendah. Minat baca mungkin harus disesuaikan, dibuat culturally relevant, disegmentasi lebih spesifik, karena tidak setiap orang punya konsep yang sama mengenai aktivitas membaca. Saya, yang besar dan tumbuh di keluarga pembaca, jelas jadi lumrah soal aktivitas baca-tulis, itu keseharian, jadi satu dengan kehidupan saya, seperti bernapas. Mereka yang ditempa sebagai akademis, pasti juga ditumbuhkan minat bacanya secara perlahan, konsep mereka tentang membaca mungkin beda dengan konsep saya dan papa. Bagi mereka, membaca perlu dikaitkan dengan tujuan yang lebih besar, misal untuk dijadikan referensi paper ilmiah, sementara bagi saya, membaca itu hobi, passion, tidak perlu dikaitkan dengan apa-apa, sudah nikmat dengan sendirinya. Yah memang, untuk menjadikan minat baca sebagai budaya, sebagai sesuatu yang mengakar, bagi Indonesia pasti masih panjang jalannya. Sebagai pembaca, tidak banyak yang bisa saya kontribusikan untuk menjawab misteri ini, paling hanya menyebar informasi tentang buku bagus yang patut dibaca, atau meminjamkan ke mereka yang ingin meminjamnya. Tapi toh itu sudah sesuatu, dan semoga saja berguna.
Sembari berjalan ke arah tempat parkir, saya dan papa mengakhiri obrolan kami tentang baca. Sebelum masuk ke dalam mobil, papa berpesan satu hal, "nak, obrolan kita tadi jangan cuma sampai disitu lho, nanti malam ditulis ya, siapa tahu ada yang tertarik untuk membacanya di luar sana. Siapa tahu."
Sambil tersenyum, saya menginjak pedal gas menuju ke arah lalu lintas padat Jakarta.
[1]. bisa diunduh di http://hdr.undp.org/en/statistics/
Catatan: tulisan ini sebenarnya saya buat awal bulan ini, tepatnya tanggal 8 September 2010 untuk merayakan International Literacy Day
"Wiiih, The Grand Design-nya Stephen Hawking udah keluar, pa! Beliin, ya." kataku seraya mengangkat sebuah buku hardcover tebal ke arah papa. Beliau mengangguk tanpa melihat ke arahku, sibuk memperhatikan rak-rak tinggi berjejalan ratusan bahkan ribuan buku di hadapannya.
Setelah selesai mengambil judul yang dimau, kami berjalan ke arah kasir, menaruh tiga judul buku di meja transaksi, membayar totalnya, lalu bergegas keluar. Papa berkata,
"Pernah terpikir nggak, nak, kalau kita hampir tiap minggu ke sini, berbelanja buku, yang kalau ditotal-total mungkin kita bisa menyekolahkan banyak orang yang tidak pernah kenal buku dan pendidikan..."
Saya terdiam. Bukan karena tidak punya jawaban, bukan karena apa yang dikatakan papa tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Tidak. Saya sering memikirkan itu. Aksesibilitas untuk literatur dan buku di Indonesia masih rendah. Sangat rendah. Beruntunglah saya, papa, keluarga kami dan jutaan keluarga lain yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar. karena faktanya, di kota ini kita masih punya banyak toko buku, ada perpustakaan di sekolah dan kampus kita, ada akses internet di rumah dan tempat umum, kita dengan mudah belanja e-books di Amazon, membaca gratis di Google Books atau mendownload artikel dan publikasi lain. Lucunya, dengan segudang fasilitas ini -- yang walaupun memang masih jauh dari bagus dan sempurna -- kita masih sering mengeluh tentang kesulitan akses literatur. Dan lucunya lagi kita masih memiliki minat baca rendah.
Saya sendiri tidak tahu pasti tentang kondisi faktualnya, tapi saya duga kondisi di daerah pasti lebih buruk dari di sini. Memang statistik Human Development Index terbitan UNDP tahun lalu1 menyebutkan literacy rate negeri ini sangat tinggi, lebih dari 96% penduduknya bisa membaca. Tapi yang jadi pertanyaan mungkin bukan kemampuan membaca, yang jauh lebih penting dari itu adalah pertanyaan, dari 96% rakyat Indonesia itu siapa yang kenal buku, terekspos dengan literatur, punya akses kesitu dan memiliki minat membacanya? Ini misteri yang musti harus dijawab bersama. Punya kemampuan membaca bukan hal yang spesial dan patut dirayakan, yang lebih dari itu adalah kemauan untuk membaca.
Saya dan papa kebetulan memang sama-sama kutu buku yang senang menggerogoti halaman demi halaman teks, kami berdua concern dengan masalah ini, dan sering menghadiri (atau tidak sengaja bertemu di berbagai) seminar, diskusi dan forum yang berkaitan dengan buku dan minat baca di Indonesia. Dari apa yang sering terlontar di diskusi dan seminar-seminar itu: banyak hal yang sering dijadikan kambing hitam dari rendahnya minat baca kita, mulai dari daya beli masyarakat, larangan buku oleh pemerintah, tingkat edukasi, kehadiran TV dan internet yang menyebabkan kita malas membaca dan lainnya semua pernah dibahas. Tapi apa iya semua itu faktor signifikan dalam menentukan minat baca masyarakat kita? Mungkin juga tidak.
(saya dan papa berbelok ke arah eskalator, turun satu lantai, sambil tetap melanjutkan obrolan)
Mari sedikit berbodoh ria, saya pernah melakukan penelitian semi-ilmiah tentang minat baca (sampel: teman-teman dan orang di dalam social circle saya), dari apa yang saya dapat: pertama, faktor daya beli tidak berpengaruh terhadap minat baca. Teman-teman saya banyak yang tidak ragu untuk membayar makan siang puluhan atau ratusan ribu, namun berpusing-pusing memikirkan untuk membeli buku seharga 35 ribu di toko buku. Kedua, tingkat edukasi juga tidak berpengaruh: teman-teman saya yang seumuran, hampir semuanya pernah atau sedang mengenyam pendidikan tingkat universitas. Teman-teman saya yang usianya lebih tua malah ada yang sedang mengambil S2 (atau sudah lulus), tapi apa mereka senang membaca? Kecuali untuk kebutuhan akademik dan kewajiban tugas, mereka jarang membaca di waktu luang. Ketiga, kehadiran TV dan internet: ini mungkin satu faktor yang, di satu sisi, bisa sangat mendukung aksesibilitas ke buku dan meningkatkan minat baca, namun di sisi lain bisa mematikannya. Saya mengamati teman-teman saya lebih senang menghabiskan waktu di depan TV dan internet untuk menonton video, bermain FB dan Twitter ataupun sibuk dengan mengalahkan boss terakhir di game, sedikit sekali yang dengan suka rela membuka laptop, Mac atau PC-nya untuk membaca artikel yang bersebaran di internet.
Temuan lain yang agak menggelitik saya baca dari penelusuran di internet, bahwa ada banyak mitos mengenai aktivitas membaca di masyarakat kita, yakni 1) membaca hanya untuk orang yang punya waktu luang 2) membaca tidak lagi dibutuhkan saat ini, informasi kini bergerak di mana-mana 3) membaca masih diasosiasikan dengan tidak gaul, geek dan anti-sosial. Dengan stereotipe-stereotipe ini, mau tidak mau pembaca di Indonesia jadi semakin terpinggirkan ("kita ini kaum marjinal," kata salah satu dosen saya, yang -- ketika hal itu saya ceritakan ke papa -- diamini oleh beliau.) Bukan memposisikan diri saya sebagai expert, toh saya bukan mahasiswa teladan dan pintar, tapi menurut saya mungkin minat baca tidak harus dipersepsikan dalam kontinuum tinggi-rendah. Minat baca mungkin harus disesuaikan, dibuat culturally relevant, disegmentasi lebih spesifik, karena tidak setiap orang punya konsep yang sama mengenai aktivitas membaca. Saya, yang besar dan tumbuh di keluarga pembaca, jelas jadi lumrah soal aktivitas baca-tulis, itu keseharian, jadi satu dengan kehidupan saya, seperti bernapas. Mereka yang ditempa sebagai akademis, pasti juga ditumbuhkan minat bacanya secara perlahan, konsep mereka tentang membaca mungkin beda dengan konsep saya dan papa. Bagi mereka, membaca perlu dikaitkan dengan tujuan yang lebih besar, misal untuk dijadikan referensi paper ilmiah, sementara bagi saya, membaca itu hobi, passion, tidak perlu dikaitkan dengan apa-apa, sudah nikmat dengan sendirinya. Yah memang, untuk menjadikan minat baca sebagai budaya, sebagai sesuatu yang mengakar, bagi Indonesia pasti masih panjang jalannya. Sebagai pembaca, tidak banyak yang bisa saya kontribusikan untuk menjawab misteri ini, paling hanya menyebar informasi tentang buku bagus yang patut dibaca, atau meminjamkan ke mereka yang ingin meminjamnya. Tapi toh itu sudah sesuatu, dan semoga saja berguna.
Sembari berjalan ke arah tempat parkir, saya dan papa mengakhiri obrolan kami tentang baca. Sebelum masuk ke dalam mobil, papa berpesan satu hal, "nak, obrolan kita tadi jangan cuma sampai disitu lho, nanti malam ditulis ya, siapa tahu ada yang tertarik untuk membacanya di luar sana. Siapa tahu."
Sambil tersenyum, saya menginjak pedal gas menuju ke arah lalu lintas padat Jakarta.
[1]. bisa diunduh di http://hdr.undp.org/en/statistics/
Catatan: tulisan ini sebenarnya saya buat awal bulan ini, tepatnya tanggal 8 September 2010 untuk merayakan International Literacy Day
No comments:
Post a Comment