Sep 16, 2010

Satir Modernitas





Then We Came To The End
Joshua Ferris
Back Bay Books, 2008



"We were all fractious and overpaid." (hal.3)

Dalam Then We Came To The End, penulis Joshua Ferris mengajak kita menertawakan rutinitas kita sehari-hari, bagaimana produktivitas hanyalah sebuah ilusi dan bahwa kita semua sebenarnya hidup dalam sebuah lingkaran hamster yang besar: diajak berlari setiap harinya , namun di tempat yang sama. Dengan gaya satir yang sangat lucu dan jujur, Then We Came To The End adalah sebuah karya yang menyegarkan, menghibur, dan dibawakan dalam gaya yang sangat modern dan kontemporer, Ferris tidak bermain dengan kata-kata puitis apalagi analogi-analogi indah, buku ini ditulis dengan gaya anekdotal, bahasa simpel dan membumi, bahkan lengkap dengan slang dan bahasa pop (Ferris sendiri adalah seorang jurnalis) yang semakin membuat buku ini layak ditelusuri dari halaman awal hingga akhir.

Then We Came to The End tidak memiliki karakter utama, cerita yang ditulis Ferris lebih mirip seperti sebuah kolase besar, tersusun dari fragmen-fragmen dan anekdot kecil yang saling menyatu di akhir. Narator dalam buku ini sendiri sangat tidak lazim karena menggunakan kata orang pertama jamak, yaitu 'kami.' Ceritanya berpusat di sebuah kantor advertising di Chicago, lengkap dengan makhluk-makhluk yang hilir mudik di tempat itu setiap harinya: mulai dari manajer, akuntan, proof-reader, story board artist, graphic designer, art director, hingga satpam, semua mendapat giliran untuk diceritakan.

"...almost nothing was more annoying than having our wasted time wasted on something not worth wasting it on." (hal.86)

Ada cerita mengenai si pemberontak Tom Mota, seorang karyawan yang menolak konformitas dan lebih memilih menghabiskan waktu di kantor untuk mengutip kata-kata Walt Whitman ketimbang mengerjakan kewajibannya -- dan hal ini membuatnya dipecat. Ada cerita mengenai si misterius Brizz, seorang karyawan, yang walaupun sudah bekerja lama dan sangat senior, namun tidak ada yang mengenalnya terlalu dekat. Brizz meninggal sebelum sempat pensiun, dan meninggalkan warisan berupa...totem Indian. Ada lagi cerita mengenai Janice Gorjanc, yang kehilangan anaknya di sebuah tempat bermain. Putri Janice diculik dan tidak pernah ditemukan kembali, namun bukan simpati yang ia dapat, justru kini Janice dan depresinya menjadi gosip paling panas di kantor. Ada pula Benny, si cerewet yang tertarik dengan Marcia, partnernya. Di balik kecerewetannya, ternyata Benny tidak sanggup mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya pada Marcia. Lain lagi cerita tentang Jim Jackers, si supervisor yang sering dikerjai anak buahnya, hingga satu hari semuanya berubah keterlaluan dan Jim mulai naik pitam. Lalu ada Lynn Mason, si kepala bagian yang berjuang dengan kanker payudaranya dan banyak lagi cerita dalam buku ini yang sangat menarik, walau hanya sekilas. Semua fragmen cerita ini saling tumpang tindih, berdesakan, berhimpitan satu sama lain, membuat buku ini sangat kompleks dengan cerita, cerita dan lebih banyak cerita. Inilah kelemahan dan kekuatan Then We Came To The End, tergantung pembaca yang mempersepsinya, buku ini bisa jadi sangat menarik, namun bisa juga membosankan. Mereka yang haus akan cerita dan mudah mengikuti alurnya pasti akan sangat menikmati bukunya, namun mereka yang terbiasa dengan struktur buku yang lebih klasik akan merasa gaya penulisan Ferris terlalu rumit dan kompleks.

"If you're going to make bad jokes, at least make them half-funny." (hal.145)

Tanpa dipotong ke dalam bab dan bagian lebih kecil, Then We Came To The End memang terasa sebagai satu cerita utuh yang besar, menyeluruh dan berkelanjutan, namun bisa jadi juga sangat sulit untuk diikuti, karena tidak ada titik jelas dimana pembaca bisa beristirahat sejenak dari cerita, semua terus berjalan seakan tanpa henti. Namun lepas dari segi teknis dan gaya penulisan Ferris, Then We Came To The End memang sangat menarik, sebuah cerita yang menjelajah dunia profesional, dari ruangan ke ruangan, dari meja ke meja. Buku ini dengan sangat berhasil menampilkan dunia profesional sebagai dunia yang sangat artifisial, dunia robotik dimana 'selamat pagi', 'apa kabar' dan 'terima kasih' tidak lagi keluar dari ketulusan, melainkan dari rekaman, dipasang kencang-kencang melalui speaker, dunia dimana relasi dijalin bukan dari kesamaan hobi, kecocokan preferensi atau ketertarikan antar pribadi, tapi dijalin dari untung-rugi, dijalin dari eksploitasi, apa yang bisa saya dapatkan dari orang ini, apa ia bisa berguna di kehidupan saya. Dan ending dari buku ini juga terasa sangat menyindir, sangat mengejek, sangat tidak terduga, dan akhirnya, menyimpulkan segalanya dalam lelucon penutup yang luar biasa lucu dan menyakitkan.

Jika anda berniat membaca Then We Came To The End: selamat menertawakan diri sendiri.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...